Rabu, 18 Januari 2012

Menengadah Ke Atas, Merenungi Ozon Yang Tak Tampak

-Taufiq Ismail-

Langit masih biru di atas halaman dan kampungku
Awan dengan beberapa juta jemarinya, saling berpegangan bergugus-gugusan
Mereka bergerak perlahan bagaikan enggan
Masih adakah angin yang bertugas dalam keindahan
Aku tidak mendengar lagi suara unggas dan siamang
Seperti di desaku Baruh, di masa kanakku
Kini yang beringsut adalah gemuruh kendaraan
Menderu di jalanan kota besar
Menderu di jalanan kota sedang
Menderu di jalanan kota kecil
Semua berkejaran dalam jalur nafkah dunia
Semua menanam mesin dan menabur industri
Semua memburu panen angka-angka
Bergumam dan menderam dalam paduan suara
Kemudian selesma, bersin lalu terbatuk-batuk
Punggungmu jadi terbungkuk-bungkuk
Siapa yang akan mengurutmu di bagian tengkuk
Danau yang menyimpan warna biru kenapa engkau jadi kelam dan hijau
Sungai yang meluncurkan air berkilau
Kenapa engkau keruh, suaramu sengau
Hutan yang menutup daratan, perbukitan dan gunung kudengar tangismu dipanggang nyala api
seraya kesakitan engkau melahirkan luasan gurun pasir kering kerontang
Mereka menggergaji dua lubang raksasa di atas sana
Terdengarkah olehmu gemeretak suaranya
Pasukan klor yang garang membantai lapisan ozon
Dan lewat sobekan-sobekannya menerjuni kawah stratosfer menganga
Meluncur-luncurlah gerimis sinar ultra ungu
Menusuki kulit bumi
Menusuki daun-daunan
Menusuki kulit kita dan mengukir rajah kanker dengan tinta ultra ungu
Dan makin panaslah kulit bumi
Engkau akan jadi penghuni padang pasir
Aku akan mengukur bentangan kersik membara
Di atas unggun ini
Akan kita kemanakan anak-cucu kita
Bongkahan es di kedua kutub, utara selatan
Dikabarkan meleleh perlahan-lahan
Menggenangi kota-kota pelabuhan
Di atas unggun, dikepung pasang lautan
Akan kita kemanakan anak-cucu kita
Mereka bertanya
Masih adakah angin yang bertugas dalam keindahan
Engkau terpaksalah berkata
Ada memang getar sejuta senar gitar
Tapi kini nyanyian lagu radiasi
Yang melelehkan air mata terlambat sekali
Jatuh membasahi catatan-catatan keserakahan
Ketika semua menanam mesin dan menabur industri
Ketika semua memburu panen angka-angka
Berkejaran dalam jalur nafkah dunia
Lalai membaca isyarat-isyarat demikian jelasnya
Dari Pemilik Semesta yang menitipkan ciptaanNya
Pada kita semua.
1989

Selasa, 17 Januari 2012

Membaca Tanda-Tanda

-Taufiq Ismail-

Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari kita
Ada sesuatu yang mulanya
tak begitu jelas
tapi kini kita mulai merindukannya
Kita saksikan udara
abu-abu warnanya
Kita saksikan air danau
yang semakin surut jadinya
Burung-burung kecil
tak lagi berkicau pagi hari
Hutan kehilangan ranting
Ranting kehilangan daun
Daun kehilangan dahan
Dahan kehilangan
hutan
Kita saksikan zat asam
didesak asam arang
dan karbon dioksid itu
menggilas paru-paru
Kita saksikan
Gunung memompa abu
Abu membawa batu
Batu membawa lindu
Lindu membawa longsor
Longsor membawa air
Air membawa banjir
Banjir membawa air
air
mata
Kita telah saksikan seribu tanda-tanda
Bisakah kita membaca tanda-tanda?
Allah
Kami telah membaca gempa
Kami telah disapu banjir
Kami telah dihalau api dan hama
Kami telah dihujani abu dan batu
Allah
Ampuni dosa-dosa kami
Beri kami kearifan membaca
Seribu tanda-tanda
Karena ada sesuatu yang rasanya
mulai lepas dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari
Karena ada sesuatu yang mulanya
tak begitu jelas
tapi kini kami
mulai
merindukannya.
1982

Senin, 16 Januari 2012

Saat Bingung Harus Mulai dari Mana

Bagiku yang masih amatir, menulis bukan persoalan mudah. Entah harus mulai dari mana, dari suku kata apa, mau bahas apa, judulnya apa, dan ujung-ujungnya tanda tanya besar : aku ini mau nulis apa???

Kadang ide mengalir di otak dengan sangat deras. Banyak gagasan. Bertubi-tubi hendak menyeruak untuk dikeluarkan. Hingga saking banyaknya ide itu, jadi tidak tahu mana yang harus ditulis dulu. Keburu mood jadi buyar, ide pun malah runtuh satu per satu, alhasil lagi-lagi tidak jadi nulis. Bisa juga kondisi kebalikannya. Saat hasrat menulis menggebu-gebu, tapi ide malah 'mandheg', atau bahkan tak menetas sama sekali. Buntu. Alhasil lagi-lagi tidak jadi nulis.

Sebenarnya kalau ditanya urgensinya menulis itu apa, aku sendiri juga tak tahu. Apalagi bagi orang-orang yang merasa tidak punya cukup waktu. Terlalu sibuk. Terlalu padat jadwalnya, terlalu banyak agendanya, maka mana sempat untuk menulis. Lho berarti menulis itu kerjaan orang yang tak punya kerjaan dong? Bisa jadi juga.

Orang-orang yang punya waktu lebih luang tentu bisa menyempatkan diri untuk menulis. Corat-coret apa saja, sekenanya. Di lembar kertas tak terpakai, buku harian, surat menyurat, atau yang lebih modern sekarang bisa cerita pada teman lewat SMS atau email, bahkan yang lebih sederhana : update status di jejaring sosial semacam facebook. Mengerjakan PR, menggarap laporan kantor, sampai tulis-menulis yang sudah jadi pekerjaan harian.

Secara tak sadar aktivitas-aktivitas tersebut-dan tentu masih banyak contoh yang lain- ternyata tak jauh-jauh dari yang namanya menulis. Berarti selama ini banyak sekali ya orang yang kurang kerjaan? Ya mesti dibedakan dong orang yang menulis untuk kerja dengan orang yang menulis cuma buat curcol (curhat colongan). Kesimpulannya menulis itu bukan hanya untuk orang yang kurang kerjaan. Betul tidak? Koreksi kalau aku salah.

Lewat menulis orang bisa menumpahkan isi pikiran, meluapkan kegundahan hati, mengisahkan tentang sebuah pengalaman, menceritakan peristiwa yang sedang dialami, memberitahu apa yang sedang dilakukan, mengkritisi suatu kebijakan, beropini tentang suatu masalah, menyampaikan suatu berita, mengajak pada yang ma'ruf dan saling mengingatkan untuk mencegah dari yang mungkar. Yang galau bisa curhat dan yang suntuk bisa mengurangi penat. Semua bisa diekspresikan dengan menulis.

Tulisannya sendiri tak perlu panjang-panjang. Tak perlu habis berlembar-lembar. 'Aku Galau', ini saja sudah tulisan, mengabarkan kalau si penulis sedang gundah hatinya. Di status-status yang diperbaharui tiap menit lewat facebook misalnya, maka akan kita jumpai hal yang sama sederhananya. Semua menulis. Tapi akan berbeda konteks menulisnya kalau kita bandingkan dengan profesi seperti wartawan atau seorang penulis novel. Sama-sama menulisnya. Sama-sama ingin mengabarkan suatu berita, ingin bercerita tentang sesuatu. Tapi bila dilihat dari segi manfaatnya tentu akan sangat berbeda. Maka sebaik-baik yang ingin kau sampaikan buat orang lain dengan tulisanmu, akan lebih bagus bila orang tersebut bisa mengambil manfaat juga dari tulisanmu.

Aku juga terbilang sangat amatir. Tapi dari yang pernah kutahu dari guru, teman, dan penulis-penulis yang sudah ada, jika kau ingin mulai untuk menulis maka cukup tulis saja. Pikiran apapun yang melintas dari otakmu sudah jadi modal kuat untuk munculnya sebuah ide. Tak perlu bingung tulisanmu sudah sesuai EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) atau belum, kata per kata, kalimat per kalimat sudah efektif atau belum. Lupakan dulu soal itu. Jika ingin mulai menulis maka tulislah. Apa saja.

Aku sendiri sempat kebingungan kali ini mau nulis apa. Nyaris tanpa ancang-ancang. Maka hasilnya ya coretanku yang jelek ini. Jauh dari sempurna memang. Tapi setidaknya dengan tulisan ini aku bisa mengeluarkan gagasanku, sekaligus membuktikan teori yang kutahu : kalau mau mulai menulis maka tulis saja. Toh meski tak sinkron kalimat kalimatnya, tak indah bahasanya, tak runtut cara penyampaiannya aku tetap bisa membuat sebuah tulisan. Ya tulisanku ini.

Bagiku, entah dengan yang lain, menumpahkan gagasan dengan tulisan jauh lebih mudah dibanding secara lisan. Kalau dengan lisan kau harus mulai dengan mempersiapkan penampilan, mengatur intonasi suara, gaya bicara, ekspresi muka, dan sebagainya yang cenderung bikin ribet, apalagi buatmu yang tak biasa bicara di depan umum. Tapi dengan menulis kau tak perlu khawatir suara cempreng, mukamu kusut saat menulis, atau dandananmu acakadul. Tak akan ada yang tahu. Yang mencoba mereka tahu adalah sejauh mana luasnya pola pikirmu lewat gagasan yang kau tuangkan.

Jika berbicara di depan umum kau harus berhati-hati terhadap tiap ucapan yang mungkin bisa menyinggung perasaan. Karena sekali terucap maka tak akan mungkin kau telan lagi. Tapi jika menulis, kau bisa membaca hasil tulisanmu berulang-ulang. Lalu kau koreksi. Kau ulangi lagi. Kau coret lagi. Kau ulangi lagi. Kau revisi lagi. Kau ulangi lagi. Begitu terus sampai kau benar-benar yakin tulisanmu layak dibaca, sungguh bisa dimengerti kata-katanya, tidak bermakna ambigu, tidak berpotensi menyakiti pembaca, tidak ada unsur SARA, dan bisa diterima dan difahami maksudnya.

Akhirnya dengan tidak menyepelekan bahwa menulis itu mudah, aku ingin sampaikan bahwa sebenarnya siapapun orangnya bisa saja menulis. Menulis itu memang sulitnya bukan buatan, apalagi kalau harus memulainya. Tapi kau dan aku bukan tidak bisa. Kita sama-sama belajar. Mulai membuat tulisan yang minimal bisa bermanfaat buat yang lain, meski tidak bagus bentuknya. Dan jangan pernah bingung harus mulai dari mana, karena saat kau mau memulai untuk menulis, maka cukup tulis saja.


Klaten, 16 Jan 2012

Kamis, 12 Januari 2012

Ya Alloh Terima Kasih, Engkau Sungguh Baik

Sudahkah terlintas dalam benakmu, apa sebenarnya yang kau cari dalam hidup ini Kawan? Atau mungkin saat ini kau sudah mencapai semua keinginan itu? Coba tanyakan lagi pada hatimu, sungguhkah di titik engkau berdiri sekarang, adalah labuhan semua harapan yang selama ini kau cita-citakan? Apakah di titik kau berdiri sekarang telah kau temui kepuasan atas hasil usahamu?

Ah, manusia memang tak akan pernah puas Kawan. Selagi otak bebalnya masih mampu berpikir tentang keindahan dunia, tangannya mampu menjangkau apa saja yang mampu diraupnya, kakinya mampu melangkah di tiap sudut tersempit di belahan bumi mana saja, niscaya hatinya mungkin belum -bahkan bisa jadi tak akan pernah- puas. Salahkah? Kalau kau bertanya padaku, maka kujawab : menurutku ini tidak selalu salah Kawan. Ada hal-hal yang membuat kita -terlebih aku- menganggap apa yang kita dapatkan saat ini belumlah cukup memuaskan.

Aku dan kau selalu ingin lebih, Kawan. Ingatkah saat masih kuliah dulu, kita selalu berharap agar cepat lulus dan segera diterima bekerja. Dan sekarang saat keinginan kita terwujud, sempatkah terpikir dalam hidupmu bahwa ternyata dunia kerja tidak semenarik yang kita bayangkan? Datar. Bagiku cukup datar Kawan. Entah denganmu. Rutinitas itu seakan membelenggu. Ada sesuatu yang kurang. Ada sesuatu yang salah. Tapi apa? Apakah karena pekerjaanku yang salah karena tidak sesuai dengan minatku? Jika demikian, maka seumur hidup akan aku kutuki diriku sendiri, kenapa dulu tidak mengambil sekolah di profesi yang lebih menjanjikan. Tapi ternyata bukan karena itu Kawan.

Lantas apa? Apakah lingkungan kerja yang tidak kondusif –kalau boleh dibilang tidak menyenangkan- yang membuat ku tidak tenang? Ah, tidak juga, bukan karena itu. Menurutku di manapun kita bekerja, sebenarnya hanya perlu yang namanya adaptasi dan saling memahami. Manusia diciptakan Alloh tidak dalam bentuk yang sama satu dengan yang lainnya bukan? Begitu pula dengan sikap, watak, dan soal kesenangan, masing-masing dari kita tentu juga punya gaya yang berbeda. Maka apabila kita mau diterima, difahami, atau diperlakukan baik oleh orang, kita juga harus mampu memahami orang itu. Akan tetapi yang paling sulit –dan kadang sangat menjengkelkan- adalah ketika kita sudah mengajak berdamai dengan hati kita untuk mau memahami orang lain, tapi orang lain belum bisa berdamai dengan hatinya untuk memahami kita. Alhasil, banyak diantara kita yang akhirnya menggerutu tiada henti, mungkin kepada rekan kerja, senior, atau bahkan atasan kita.

Namun sungguh bukan itu yang sebenarnya terjadi. Alhamdulillah aku menyukai profesi ini. Lingkungan tempatku bekerja sungguh membuatku nyaman dan menikmati. Tuntutan beban kerja yang sebenarnya sangat menguras tenaga, emosi, dan pikiran, sejauh ini masih dapat kuatasi. Singkatnya aku senang dan tenang dengan pekerjaan yang sedang kulakoni. Akan tetapi masih ada saja dalam hati ini yang kurang. Aku mulai menganggap hidup semakin datar saja. Kurang berwarna. Aku berpikir harus ada hal lain yang lebih, yang bisa aku lakukan. Lalu kurangnya apa? Wajarkah ini?

Dalam pemikiran tersebut aku mulai menemukan jawabannya Kawan. Melalui sebuah referensi paling mulia dan terpercaya, tiada tandingannya di seantero jagad raya. Sebuah sumber yang aku dan kalian lazim menyebutnya : Al Qur’an. Ternyata ada sebuah hal sederhana namun sering aku lupakan. Mulai kusadari bahwa perasaan selalu kurang itu, perasaan tidak tenang dalam hatiku, pemikiran akan hidup yang seolah datar-datar saja itu, rupanya hanya berasal pada satu muara : kurang syukur (lihat QS Al A’raf ayat 10).

Suatu malam selepas sholat maghrib, kudapati bacaanku sampai pada ayat ini. Ayat ke-10 Surah Al A’raf. Hatiku seperti tersengat. Mulutku tercekat. Kuulangi membaca terjemahannya berulang-ulang. Hingga aku sadar, mungkin ini jawaban yang Alloh berikan. Masya Alloh. Jika aku mau menyadari lagi lebih jauh, lebih mendalam, ternyata perasaan kurang ini aku sendirilah yang buat. Ya, semua itu aku sendiri yang buat. Aku belum pandai bersyukur. Selama ini belum kuingat lagi masa-masa getirku yang dulu, seorang akademisi muda yang baru saja wisuda, menatap nasibnya yang semakin lama semakin kurang jelas. Berharap mendapat penghidupan yang lebih layak, dengan mencari kerja. Selama ini belum kuingat lagi, betapa hatiku selalu resah, dengan tuntutan zaman yang semakin kejam, bahwa seorang penganggur hampir-hampir tiada nilainya. Hingga saat kesempatan itu datang, Alloh dengan sangat baik malah memberiku pilihan, bukan hanya satu jalan. Tampaknya Dia sengaja membuatku senang, agar aku bisa memilih mana ladang rezeki yang aku suka untuk menyemainya di sana. Dari-Nya aku mengambil keputusan. Dan dari-Nya aku memperoleh apa yang aku harapkan.

Rupanya aku hampir lupa masa sulit itu. Masa di mana Alloh dengan Kasih Sayang-Nya memberiku pertolongan. Hingga kini saat perasaanku mulai kalut, Alloh kembali memberiku pembelajaran. Alloh menegurku dengan firman-Nya. Dia dengan terang-terangan menyindirku dengan kalimat indah dalam ayat-Nya :

”...(tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur”

Barangkali inilah yang membuatku selalu merasa kurang. Perasaan kurang syukur inilah yang membuatku selalu tidak tenang, merasa hidupku begitu datar-datar saja. Padahal hidup ini begitu luar biasa Kawan. Hanya aku yang belum berkesempatan (tepatnya belum mulai mencoba) untuk kembali mengukirnya menjadi lebih indah. Alloh sudah memberiku jalan. Dia ingin aku melaluinya, mensyukuri tiap langkah yang aku pijakkan, tetap tegar dalam semua tempaan, karena yakin selalu ada Dia yang siap membantu bila aku lelah dan terjatuh.

Alloh sungguh sangat baik Kawan. Dua kunci yang aku peroleh dalam perenunganku adalah tentang syukur dan melakukan yang terbaik yang bisa kulakukan untuk mewujudkan rasa syukur itu. Sehingga nantinya akan kudapati hidupku tak akan pernah kurang, hidupku tak akan jadi datar-datar saja.

Kau pikir aku berlebihan Kawan? Ah, silakan saja, itu hakmu untuk berpikir demikian Kawan-Kawanku yang baik. Namun alangkah senangnya aku jika kalian juga mematri ini dalam hati. Seperti halnya aku yang selalu mencoba menanamkan dalam hatiku, bahwa yang jelas dalam hidupku saat ini adalah aku ingin terus berterima kasih kepada Alloh atas semua nikmat-Nya, dan dengan segala kemampuan dan kesempatan yang telah Dia berikan, akan aku ukir hidupku sehingga tidak datar-datar saja. Bagaimana caranya? Ah, tentu masing-masing dari kita lebih faham bukan? Tengoklah kembali apa yang ingin dan belum kau raih. Tanamkan dulu dalam hidupmu rasa syukur atas pencapaian masa lalumu. Lalu dengan semangat kembalilah bangkit menuju keinginanmu yang belum tercapai. Mulailah dengan keyakinan bahwa Alloh Itu Baik, dan akan menolong hamba-hamba-Nya yang baik. Setelah itu barulah kita mulai mewujudkannya, dengan Bismillah.

“Ya Alloh Terima Kasih. Engkau Sungguh Baik. Dan aku mohon, janganlah jadikan kami ini pelupa dengan kebaikan-Mu”

Kamar Kost, November 2011