Rabu, 29 Februari 2012

Mencari atau Menemukan?

Sensitif. Menurutku topik ini begitu sensitif. Aku selalu berpikir ulang untuk mulai menulis tentang topik yang satu ini. Sangat sensitif. Engkau yang membaca tulisan ini mungkin akan menganggap aku sedang curhat atau mengalami semacam fase kegalauan. Padahal tidak. Sama sekali tidak. Itulah kenapa aku sebut ini sensitif. Karena kali ini kita akan bicara soal CINTA. Sensitif bukan buatan.

Aku pernah bertanya dalam hati, bagaimanakah orang zaman dulu kalau sedang jatuh cinta? Apakah Kakek-Nenek kita pacaran? Seperti apa kisah cinta mereka? Pernah suatu kali aku tanyakan kepada Ibu-Bapak berapa lama mereka dulu saling mengenal hingga kemudian memutuskan untuk menikah. Maka seperti sudah ada konspirasi sebelumnya, beliau berdua malah kompak balik bertanya, tepatnya mungkin menantang : "Wis kepengen rabi opo piye Nang?" (Apa kamu sudah ingin nikah Nak?)

Sergapan itu langsung menohok ulu hati. Bukan itu maksud pertanyaanku. Mereka tertawa, menggodaku. Tapi akhirnya pertanyaanku dijawab. Dulu Ibu-Bapak dikenalkan oleh orang tua masing-masing (Kakek-Nenekku). Begitu dipertemukan pertama kali benih cinta langsung tumbuh, niatan baik ingin segera ditempuh, persiapan tak sampai tiga bulan, langsung menuju jenjang pernikahan. Simple sekali. Bapak tak perlu nembak dulu, apakah ibu mau jadi pacarnya atau tidak. Tak ada penjajakan berbulan-bulan. Tak ada main-main. Semua berjalan mudah. Komitmen untuk menikah.

Bapak, bagiku, adalah orang paling pendiam di dunia. Jarang memulai pembicaraan kecuali dianggap sangat penting. Tidak pandai humor. Bila sedang mengatakan lelucon selalu terdengar garing. Tapi beliau adalah orang paling jujur dan sederhana yang pernah aku temui. Sementara ibu, adalah orang yang periang, suka bicara, selalu ingin tahu, menyelidik, terlebih urusan anaknya. Tapi sifat menyelidik itu justru menunjukkan sisi keibuannya. Selalu memastikan apa yang sedang anaknya rasakan. Meyakinkan diri selalu ada, bila anaknya sedang butuh. Meski menurutku, anak yang bebal ini, kadang terlalu berlebihan. Dan sifat ingin tahu itu hanya dia terapkan pada keluarganya saja. Dia hanya ingin memberi yang terbaik bagi suami dan anaknya. Maka tak seperti ibu rumah tangga kebanyakan, baginya pantang ikut campur masalah orang lain yang bukan urusannya. Ibu tidak suka menggunjing atau menggosip urusan yang belum terang baginya. Tapi kalau urusan yang bersifat sosial seperti memberi bantuan pada orang lain, bagiku beliau seorang jawara. Ibu, orang yang cerewetnya luar biasa pada kami, adalah ibu terbaik di dunia.

Bapak yang pendiam dikombinasikan sifat ibu yang suka bicara, adalah perpaduan yang sungguh luar biasa. Sengaja ditakdirkan oleh Tuhan untuk hidup bersama. Telah ditetapkan di Lauh Mahfudz jauh-jauh hari sebelum mereka saling mengenal. Dan karena memang sudah seperti yang disuratkan, pada kali pertama berjumpa, langsung 'klik' begitu saja. Chemistry itu langsung ada, kecocokan itu langsung muncul, tak perlu pacaran dulu. Anugerah cinta dari Tuhan meresap perlahan ke hati keduanya, begitu indah. Setidaknya itulah yang terasa selama lebih dari dua puluh tahun hidup bersama mereka. Bapak bisa bersabar dengan Ibu, dan Ibu bisa patuh dengan Bapak. Kecocokan itu tak perlu dibangun berbulan-bulan, bertahun-tahun, atau berabad-abad. Karena cinta itu fitrah, dan Tuhan selalu memberi petunjuk kepada hati, agar bisa menemukan tempat terbaik yang akan dia singgahi.

Itu sebuah kisah singkat. Sengaja tak kutampilkan cerita seperti di novel-novel Islami. Bertahun-tahun bahagia, tanpa saling kenal sebelumnya. Dan bukti yang ini telah nyata adanya. Namun ada yang aku tak pernah mengerti, mengapa tampaknya sulit sekali menerapkannya di zaman sekarang ini. Menurutku telah terjadi semacam pergeseran nilai. Bahwa agar nanti rumah tangga harmonis, maka diperlukan suatu proses penjajakan, yang oleh sebagian orang disebut pacaran. Kalau cocok lanjutkan, kalau tidak mungkin lain kesempatan.

Padahal kalau boleh aku berpendapat, bukankah tiap jiwa telah ditakdirkan siapa jodohnya? Jadi kalau kita dekat dengan seseorang yang kita suka dan berharap bisa melanjutkan hubungan lebih serius, tapi ternyata pada kontrak jodoh yang dibuat oleh Tuhan tidak tercantum namanya, apa masih harus dipaksakan dia akan jadi jodoh kita? Permasalahannya kita tak pernah tahu siapa nama orang yang tertulis di suratan takdir itu. Sehingga sering kita maunya coba-coba. Dan yang membuat hidup jadi tidak tenang, salah satunya mungkin memikirkan kondisi terburuk bila jodoh kita bukanlah orang yang kita suka.

Mencari atau menemukan?

Rumit. Sampai disini masalahnya begitu rumit. Setiap orang diperintahkan untuk berusaha. Dan sama halnya bentuk rezeki lainnya, jodoh juga patut kita usahakan. Biarpun oleh Tuhan sebetulnya telah disediakan, tapi tetap tidak boleh berpangku tangan. 'Mencari jodoh' disini mengandung makna yang luas dan sebuah nilai yang suci, setidaknya itu menurutku. Maka usaha mencari itu bukanlah kita melakukan penjajakan yang serampangan. Berusaha mengenal pasangan dengan cara sembarangan. Tanpa adab. Tanpa tata krama. Islam sudah mengajarkan dengan begitu indah. Dan bagi kita yang masih ragu apakah dengan cara instan seperti itu pernikahan akan langgeng ke depannya, maka perlu menanamkan dalam hati lagi bahwa jodoh sudah diatur jauh sebelum kita melihat dunia. Tak tahu kapan masanya. Berapa lama waktunya.

Ada sebuah ungkapan menarik 'engkau mungkin tidak menikahi orang yang kau cintai, tapi cintailah orang yang engkau nikahi'. Cukup sederhana, tapi sulit penerapannya, apalagi yang belum pernah mencoba. Namun setidaknya tersampaikan sebuah maksud, bahwa tangan manusia tak ada kuasa apa-apa memilih pendamping hidupnya. Dan bila pendamping hidup itu telah tiba manusia juga tak ada kuasa untuk membantahnya. Maka jalan terbaik, cintai Tuhan melebihi segalanya agar Dia berkenan menganugerahkan cinta di hati kita untuk pasangan kita. Senantiasa memohon petunjuk pada-Nya, terlebih bagi yang merasa masih hidup sendiri dan sedang dirundung galau dalam hatinya.

Kita selalu ingat janji-Nya bahwa laki-laki yang baik hanya untuk perempuan yang baik, dan perempuan yang baik hanya untuk laki-laki yang baik. Maka bila mau mendapat yang baik-baik usaha terbaiknya adalah menjadikan diri pribadi yang baik. Banyak ibadah, banyak doa, banyak usaha, banyak doa lagi, selalu menyertakan Dia dalam tiap sendi kehidupan kita. Memohon kemudahan agar dapat memilih mana yang terbaik bagi kita.

Lantas bagaimana bila kita sudah berusaha menjadi baik ternyata dapat jodoh yang kurang baik? Itu artinya Tuhan sedang memberi kesempatan bagi kita agar jadi lebih baik lagi, sekaligus sebagai sebuah ladang amal karena kita dapat berusaha untuk membuat orang lain baik juga. Bukankah perkara ini jadi begitu indah? Ya, urusan seorang mukmin memang selalu indah. Jika mendapat nikmat mereka bersyukur, bila mendapat musibah mereka bersabar.

Dan muara dari itu semua adalah 'penemuan'. Layaknya rezeki terindah yang telah disediakan. Orang yang tepat, di waktu yang tepat, dan di tempat yang tepat. Sudah ditetapkan Tuhan dengan begitu hebatnya. Rusuk yang belum bertemu dengan pemilik sahnya, tidak akan tertukar dengan yang lainnya.

Yang terakhir, ingin kusampaikan sekali lagi, tulisanku ini hanya tulisan Kawan. Tak ada hubungannya dengan hati, baik bentuknya curhatan atau manifestasi dari kegalauan. Sekali lagi tidak. Sama sekali tidak. Ini hanya wujud penyampaian pemikiran. Gagasan. Dan karena masing-masing dari kita telah dianugerahi pemikiran luar biasa dalam memahami sesuatu melalui sudut pandang beraneka rupa, maka bolehlah engkau tidak sependapat. Sah-sah saja. Yang terpenting semoga ada manfaat yang tersampaikan. Dan bila ada yang kurang sesuai, aku mohon sebelum engkau campakkan, perbaikilah. Semoga Alloh memberi kita kekuatan untuk tetap istiqomah di jalan-Nya.


Klaten, tanggal cantik di tahun kabisat 29/2/2012

Minggu, 26 Februari 2012

Pesan Alam

Pekat di atas sana belum juga terganti
Langit berdehem-dehem sedari tadi
Diikuti gumpalan awan kelabu berjejer menutup terang matahari
Yang tertutup panasnya tak merasa perlu peduli
Dia biarkan kawan karibnya menunaikan titah hari ini
Mengantar pesan dari langit tentang janji
Buliran itu titik-titik yang menembus pori-pori
Seketika seolah waktu berhenti
Di darat yang mulai ramai orang pulang pergi
Yang jalan merapat tak berlanjut jalan lagi
Dan disana ada sebuah tempat luas sekali
Dia tumpahkan amukan sejadi-jadi
Pada laut dia ubah bergelombang-gelombang tinggi
Disusul badai mengocar-acir tanpa permisi
Akar-akar cahaya langit laksana tangan hendak mencengkeram bumi
Ngeri
Langit sudah tak berdehem-dehem lagi
Tapi sudah berteriak menyeramkan sekali
Kelabu berubah jadi kelam
Kelam menyusul semakin gelap
Buliran semakin kencang menderas kini
Laksana sembilu-sembilu tajam hendak mencabik kulit ini
Dia tampak marah
Entah kenapa
Entah pada siapa
Tapi itu belum seberapa
Di sana bermil-mil jauhnya
Telah kita lihat penduduk zaman dulu merasakan perih
Karena kelakuan mereka sendiri
Janji Tuhan disepelekan
Dunia dinikmati tanpa terima kasih
Maka kita sekarang lihat jejak-jejaknya
Dalam taklimat kitab yang mulia
Rugi yang tak mau bersegera
Tanda-tandanya itu sudah ada
Buliran-buliran itu contohnya
Tak ada yang tahu pasti kini kapan datangnya
Dan tiap tiba berpotensi mengajak kawan-kawannya
Beliung, topan, bandang, longsor, dan karib lainnya
Ikut menerabas dunia
Mengubahnya jadi derita
Bila telah henti waktunya
Giliran yang lain ikut serta
Kita temui bumi bergetar tiada terkira
Isi perut dimuntahkan begitu saja
Murka dinjak-injak tiap hari
Terus menerus dilobangi
Rambut hijaunya digunduli
Biar, biar kini mereka rasakan, kata bumi
Tanah retak pecah belah
Rumah runtuh, terseret gelombang
Atau apa saja
Manusia
Di mana mereka?
Meringkuk sesal atas kecerobohan selama ini
Atau tak peduli?
Biar, biar nanti ada giliran sendiri, kata bumi
Kini sebagian dulu pelajaran ini kami beri
Nanti tiba gilirannya
Semua merasakan
Yang mau belajar sungguh orang yang berbudi
Mereka akan terlindungi
Yang tidak, biar nanti mereka rasakan
Jangan harap Tuhan nanti mau mendengar
Setelah seruan-Nya ini kita abaikan
Jangan harap Dia mau peduli
Bila nyawa telah lewat pangkal tenggorokan
Baru kita berucap
Ya Robbi, Ya Robbi

Baiti Jannati, 25 Feb 2012

Sabtu, 25 Februari 2012

Suporter Bandel

Bila kita sering dengar suporter rusuh di pertandingan sepak bola, itu sudah biasa. Merasa paling berkepentingan soal memberi dukungan pada tim kesayangan. Dan begitu tahu tim yang didukung tak bermain dengan memuaskan, berpikir wasit tak adil dalam mengambil putusan, merasa tim kebanggaannya dicurangi oleh lawan, atau kondisi apa saja yang membuat hasil akhir pertandingan berbuah kekalahan, maka suporter ini tak segan-segan ikut turun ke lapangan, membuat kericuhan. Hendak menunjukkan kekesalan bahwa setelah jerih payah dan antusias yang sudah mereka lakukan dalam memberi dukungan, mestinya semua itu diganjar dengan sebuah kemenangan. Tak jarang ada yang berbuat anarkis. Merusak fasilitas umum sampai tawuran antar suporter. Seperti kaum barbar saja. Tapi tentu tidak semua suporter demikian. Ada juga yang santun. Cinta damai. Sayangnya yang ini jarang, bahkan hampir tak pernah terekspose oleh media, sehingga masyarakat tahunya sepak bola itu ya cuma bobroknya saja. Mengenaskan.

Sementara kita tinggalkan dulu lapangan sepak bola. Aku ada cerita menarik soal suporter ini. Ada sebuah suporter yang tak pernah menyanyikan yel-yel pengobar semangat. Tak ada acara tiup terompet atau menabuh genderang. Tak ada teriak-teriak memberi dukungan. Dan suporter ini nyata adanya. Lapak mereka adalah lingkungan tempatku bekerja. Ya, rumah sakit. Lalu suporter macam apa yang sampai terjun ke rumah sakit segala? Dan perlu kau tahu, meski mereka 100 % anti anarkis, tapi hampir sama dengan suporter sepak bola tadi, mereka itu juga kelompok orang yang bandelnya minta ampun.

Datang pada jam-jam tertentu, rombongan orang-orang ini biasanya berduyun-duyun tiba di rumah sakit. Berkelompok 5-15 orang, bahkan bisa lebih. Ya, sebanyak itu. Mereka datang menumpang mobil pick up, menyewa satu-dua angkot, atau naik ke dalam bak truck kecil. Banjir suporter ini biasanya dimulai pada jam 17.00 - 20.00. Di atas jam itu jumlah mulai menyusut pasti. Karena setelah jam 20.00, petugas keamanan akan segera melakukan sidak, memastikan pasien harus bisa beristirahat dengan tenang.

Suporter itu adalah para pengunjung pasien. Orang-orang yang dengan tulus mempraktekkan sunnah nabi untuk menjenguk orang sakit. Dan kebanyakan mereka adalah tetangga pasien dari desa tempat tinggalnya. Datang dari berbagai pelosok menyempatkan diri untuk mengetahui kondisi kesehatan orang yang sudah dianggap saudara oleh mereka. Dan yang seperti ini seringnya terjadi di ruang perawatan kelas tiga, maka sering dilazimkan mengingat banyak diantara mereka -baik pasien, kelurga, maupun pengunjung- kebanyakan merupakan masyarakat dengan strata menengah ke bawah (dari segi ekonomi atau pendidikannya).

Tapi memang layaknya image dari kebanyakan suporter yang sudah ada, suporter pasien ini juga bandelnya bukan buatan. Padahal demi ketertiban dan ketenangan ruang rawat inap, pihak rumah sakit telah mengeluarkan peraturan baik tertulis maupun tidak seputar kunjungan pasien. Yang paling jelas dan terang adalah tulisan di depan pintu masuk ruangan : "PENGUNJUNG HARAP MASUK BERGANTIAN" atau "ANAK USIA DI BAWAH 12 TAHUN DILARANG MASUK". Aku rasa bagi orang yang bisa membaca, aturan ini sangat terang maksudnya. Tapi tetap saja mereka ngeyel, masuk ruang serentak bersama-sama, menggelar tikar seenaknya, sudah seperti di rumah sendiri. Ada juga yang nekat membawa anak kecil yang masih dalam gendongan masuk ruang. Ah, tak terhitung sudah berapa kali selalu kami ingatkan secara lisan. Sampai berbusa mulut ini. Tapi yang namanya bandel, setelah diingatkan maka dalam durasi satu jam ke depan biasanya akan menurut, tapi besoknya saat kunjungan berikutnya sudah lupa lagi bahkan kurang ajar membawa tenaga suporter tambahan. Memusingkan. Tak henti kami ingatkan, tak lelah pula mereka mengulangi.

Pernah suatu sore saat akan keliling ke pasien untuk memberikan terapi, kami terpaksa harus menunggu sejenak sebelum masuk ruang perawatan, karena di dalam sudah ada kumpulan orang sedang duduk khidmat, melingkar diatas tikar di sekitar tempat tidur pasien, dipimpin satu orang di tengah (kalau ditempat asalku dipanggil Pak Moden), mereka berdoa bersama untuk kesembuhan orang yang dijenguknya. Masak orang sedang berdoa harus diusir? Tak sampai 3 menit selesai, baru mereka kami persilakan keluar dan meminta membenahi semua perkakas yang ada agar lebih rapi.

Bagaimana dengan pasien yang lain? Ruang tempatku bertugas ini ada tujuh kamar, sekamar berisi 7 tempat tidur. Jadi bila satu pasien saja dijenguk 3 orang maka 21 orang pengunjung akan menyesaki ruangan. Komplain dari pasien lain sering pula kami dapatkan. Mulai dari kebisingan, gerah karena terlalu banyak manusia di dalam, tak bisa istirahat, sampai ada pasien yang kumat sesak nafasnya. Ah, tapi lagi-lagi, usai kami menegur hari ini, besoknya pasti terulang lagi. Tapi ada jam yang tak bisa diganggu gugat, yaitu diatas jam 8 malam, saat petugas keamanan keliling ruangan. Setiap kamar harus steril dari pengunjung kecuali penunggu pasien yang sudah punya kartu tunggu. Selain yang itu, wajib pulang, sudah malam, pasien butuh istirahat.

Hari-hari berikutnya sama. Hampir selalu seperti itu. Kesulitan kami mengatur lingkungan agar tertib dan kondusif. Pegal mulut ini selalu mengingatkan. Maka, sejauh tak ada pasien yang terganggu dengan aktivitas suporter bandel ini (meski lebih banyak yang sering terganggu), kami bisa 'sedikit saja' memaklumkan. Tidak mau banyak-banyak. Khawatir nanti tambah nekat.

Namun sesungguhnya dibalik sebelnya aku mengatasi mereka, sedikit ada rasa kagum juga. Mereka orang-orang yang selama ini kita anggap udik, pendidikan menengah ke bawah, ekonomi rendah, justru punya suatu nilai kearifan yang mungkin tak pernah dimiliki oleh orang yang mengaku modern di jaman sekarang. Suatu nilai kebersamaan. Memahami indahnya persaudaraan dan saling memberi perhatian. Mungkin tak ada yang pernah memaksa mereka untuk merepotkan diri, menggadaikan waktu istirahat setelah bekerja seharian, menjatuhkan sedikit gengsi (atau mungkin sudah tak ada gengsi sama sekali) dengan menaiki mobil pick up, berombongan, tersapu angin di jalan, seperti orang mau demonstrasi saja. Hanya untuk menjenguk tetangga atau saudara jauh mereka yang sakit.

Dan peristiwa doa bersama itu, sungguh membuat merinding. Mengingat hampir jarang sekali kita temui yang demikian. Doa merupakan obat paling manjur sebelum obat yang lainnya. Mereka sadar kalau mau kesembuhan ya harus minta dulu sama Yang Memberi Sakit. Mereka sangatlah mafhum. Dan dengan kerendahan hati, doa bersama itu sedikit banyak telah membuat kamar itu damai. Pasien lain yang satu kamar ikut-ikutan mengamini. Bukankah pemandangan yang luar biasa?

Mereka, suporter bandel itu, telah mengajari kita secara nyata tentang rasa peduli terhadap sesama. Menganggap satu yang lainnya sudah seperti keluarga dekat saja. Merekalah pendukung pasien yang sesungguhnya, meski kadang merepotkan buat pasien lainnya. Tapi kesadaran untuk saling memberi perhatian itu sungguh tak ada duanya. Mereka yang konon katanya datang dari pelosok desa, mesti jadi bahan pelajaran bagi penduduk kota yang mulai lupa soal tenggang rasa, terlalu sibuk urusan kerja, terperangkap dalam modernisasi dunia, tergerus dalam kehidupan yang mulai melupakan rasa persaudaraan.

Dan mereka, suporter bandel itu, meski membuatku jengkel di setiap kunjungannya, telah mengajarkanku untuk dapat lebih sabar, dan setidaknya membuat pihak rumah sakit sedikit berpikir keras, bagaimana membuat aturan berkunjung yang lebih tegas.


di-Baiti Jannati, 25 Feb 2012

Kamis, 23 Februari 2012

Man Jadda Wajada

Engkau yang pernah membaca, atau mungkin termasuk salah satu penggemar novel 'Negeri 5 Menara', tentu tak asing dengan mantra yang satu ini. Mantra yang jadi penggugah dan penyemangat jiwa bagi Alif dan kawan-kawannya. Mantra yang akhirnya membawa mereka menuju ke pencapaian cita-cita dalam hidupnya. Memahami bahwa mimpi haruslah diwujudkan, sebesar apapun bentuknya. Setinggi apapun harus berusaha diraih, seluas apapun harus coba untuk digapai. Bahwa mimpi ada untuk dihidupkan, bukan untuk dihidupi, apalagi sekedar hidup dalam mimpi. Bahwa usaha gigih, tak kenal menyerah, tak henti berjuang, adalah nilai-nilai yang mutlak diperlukan. Tuhan tak pernah lalai terhadap sekecil apapun usaha yang kita lakukan. Dia tak pernah lupa terhadap cucuran keringat yang kita tumpahkan. Dan keberhasilan adalah hadiah terindah bagi orang yang mau berlelah-lelah.

Tulisanku kali ini tidak akan membahas resensi novelnya atau soal sinopsis film layar lebarnya (yang kabarnya akan segera tayang). Engkau tentu sudah lebih faham jalan ceritanya. Aku hanya ingin mengajakmu kembali merenungi tentang keajaiban mantra ini. Sejauh manakah pepatah Arab ini berperan dalam hidup kita. Sudahkah kata-kata ini berkontribusi dalam mewujudkan cita-cita kita. Sudahkah kita menghayati dalam-dalam, dan menerapkannya secara nyata.

Aku sendiri baru mengenal kata mutiara ini saat SMA. Tapi benar-benar bisa menghayati setelah duduk di bangku kuliah, saat seorang teman memperkenalkanku dengan novel 'Negeri 5 Menara'. Usai membacanya, aku mulai merasakan spirit yang luar biasa. Dan kalau setelah membaca novel-novel lain spirit yang ditimbulkan perlahan juga mulai hilang selepas kita menutup halaman buku berbulan-bulan berikutnya, tapi tidak dengan novel yang satu ini. Nilai-nilai perjuangan itu seolah terngiang-ngiang terus dalam ingatan. Menyebabkan otak terus berimajinasi memikirkan cita-cita masa depan. Barangsiapa bersungguh-sungguh, dia akan mendapat. Begitu bunyinya.

Man jadda wajada, bukanlah sebuah ayat Al Qur'an, bukan pula sebuah Hadits. Hanya pepatah bahasa Arab biasa. Tapi akan sangat bermakna bagi orang yang mau memaknainya, meski kedalaman maknanya jelas tak akan sebanding dengan Ayat-Ayat Suci Al Qur'an dan Sunnah Rosul-Nya. Maka dengan tidak melepaskan diri dari nilai-nilai murni dalam Al Qur'an dan akhlak mulia yang diajarkan Baginda Rosul pada kita, tak ada salahnya bila mantra Man jadda wajada juga mewarnai kosakata pemantik api semangat dan jadi meriam yang siap melontarkan diri kita pada pengharapan terindah dalam hidup, atas izin-Nya.

Dalam hidupku, pepatah ini tak sekedar menjadi kata-kata penyemangat, tapi juga semacam cambukan dan tamparan sangat keras untukku berkaca diri. Keberhasilan tentu jadi harapan bagi semua orang, tapi yang namanya hidup, kegagalan pasti juga tak segan mampir menyertainya. Dan di saat gagal itu, kita, terlebih aku, tak jarang menyalahkan keadaan yang tak mendukung, menghujat waktu yang tak tepat, atau membenci orang lain yang kita anggap biang keroknya. Sakit rasanya gagal. Lebih pedih bila melihat orang lain berhasil sementara kita masih tertinggal. Namun sesungguhnya bila kau mau tahu Man jadda wajada ini bisa kita jadikan bahan introspeksi diri. Bukankah yang dingiang-ngiangkan untuk orang yang sukses adalah mereka yang mau bersungguh-sungguh? Lantas kalau mau menilik ke belakang atas kegagalan kita, sejauh mana kesungguhan kita dalam berusaha? Orang akhirnya mengeluh karena tidak berhasil. Lebih lama menekuri nasib yang seolah tidak bersahabat. Merasa dirinya paling apes sedunia. Tapi pernahkah mengevaluasi diri, memastikan, bahwa usaha yang kita lakukan dalam mencapai tujuan telah sungguh-sungguh adanya?

Pernahkah kita menyadari bahwa usaha kita lebih sering bersifat horisontal? Untuk lulus kita belajar dengan rajin. Agar diterima kerja kita menyiapkan diri semaksimal mungkin. Untuk mendapat keuntungan dalam usaha kita bekerja keras siang-malam. Agar menang dalam perlombaan kita berlatih sekuat tenaga. Agar sukses kita kerahkan semua kemampuan kita. Dan setelah usaha-usaha yang kita anggap keras tersebut, baru kita serahkan pada Yang Mahakuasa. Dengan doa dan kesadaran untuk dapat menerima apapun nanti hasilnya. Koreksi ini jika aku salah : kita sering menempatkan Alloh di garis akhir perjuangan kita. Seringnya kita sudah merasa cukup dengan berdoa sekenanya untuk mengawali suatu usaha, lalu baru merasa perlu berdoa dengan penuh kekhidmatan setelah kita bersusah payah. Bahkan tak jarang dalam berdoa kepada Tuhan, selalu kita tergesa-gesa, tak jelas maksudnya. Inilah yang kusebut usaha horisontal, tapi secara vertikal kita malah setengah-setengah. Kenapa tawakkal harus selalu diletakkan di akhirnya, bukan segera setelah kita akan mulai suatu usaha. Dan mengapa dalam 'bekerja sama' dengan-Nya kita juga tak sepenuh hati, cukup doa saja, tanpa mau memperbaiki amal ibadah selama ini. Aku juga sedang mengoreksi diriku sendiri.

Agar tulisanku ini tak melebar kemana-mana, karena substansi yang ingin kusampaikan adalah tentang mantra Man jadda wajada, maka aku ingin kita belajar memahami bersama bahwa kesungguhan usaha tidak selalu tentang kita. Kita wajib menyertakan Alloh di dalamnya. Aku teringat sebuah pengajian yang disampaikan oleh Ustadz Yusuf Mansur, temanya sangat menarik di dengar : Alloh dulu, Alloh lagi, Alloh terus. Ketika punya suatu hajat, mari kita mulai dengan tawakkal dulu bahwa semua milik Alloh dan akan kembali pada-Nya. Baru kemudian memulai usaha kita dengan tak lupa mengajak Alloh sebagai 'partner kerja'. Jadi setiap jerih payah yang kita lakukan selalu melibatkan Alloh juga. Caranya dengan kita memperbaiki amalan ibadah kita, sholat tepat waktu diiringi ibadah sunnahnya (qobliyah-ba'diyah, tahajud dan lainnya), lalu kita imbangi pula dengan ibadah puasa sunnah, dan tak lupa sedekah. Senantiasa bertobat atas kesalahan kita dan tak henti memohon ampun pada-Nya. Dan pamungkasnya baru kita letakkan tawakkal yang sesungguh-sungguhnya. Tawakkal yang bernilai sebenar-benarnya tawakkal, karena jerih payah kita, peluh keringat kita, selalu menyertakan Alloh Subhanahu wa ta'ala. Seimbang usaha horisontal dan vertikalnya. Sama-sama bersungguh-sungguh dalam menjalankan keduanya. Dan menurutku disinilah seharusnya kita
memaknai Man jadda wajada.

Lho beribadah kan harusnya ikhlas lillahi ta'ala? Jangan dicampuradukan dengan cita-cita atau keinginan kita lah? Kawan-kawanku yang baik, sadarkah bahwa doa juga merupakan ibadah, karena kita minta sama Dzat Yang Memang Pantas Dan Wajib Untuk Diminta. Bukankah kalau kita tidak minta Dia justru akan marah, kita dibilang sombong malah. Dan -maaf kalau agak kasar, mohon koreksi- orang yang tidak sholat, tidak mau puasa, atau bersedekah saja boleh minta sama Alloh, apa saja. Bagaimana kalau ibadah-ibadah tersebut malah kita sertakan, kita sempurnakan. Tentu akan jadi nilai tambah yang luar biasa. Kita bisa sukses dunia, dan bahagia di akhirat sana. Betul tidak?

Nah, kalau sudah demikian adanya, tapi tak membuahkan hasil juga bagaimana. Berarti mantra Man jadda wajada tak bisa terbukti kebenarannya? Semoga kita tetap berada di jalan-Nya. Selalu istiqomah dalam bertawakkal pada-Nya. Tetap khusnudzon, berbaik sangka. Bisa jadi Alloh sudah mempersiapkan yang terbaik bagi kita. Karena kembali lagi, Dia tak pernah lalai, tak pernah lupa. Setiap tetes peluh kita akan diganjar setimpal. Dia akan mengganti setiap desah nafas kita yang tersengal-sengal. Setiap lelah dari tubuh kita, sungguh akan dapat imbalannya. Maka harusnya bagi orang yang beriman tak ada kata menyerah. Tetap meyakinkan diri bahwa bila kita berusaha keras dengan selalu ingat dan melibatkan-Nya, maka akan tercapai keinginan kita. Entah kontan di dunia, atau sebagai investasi terindah di surga sana.

Tentu aku juga masih perlu untuk terus, terus, dan terus belajar. Dan semoga tulisan sederhanaku ini bisa menjadi pendorong bagiku juga engkau semua, untuk tak berhenti berusaha menggapai cita-cita. Usaha dengan sesungguh-sungguhnya, agar kita mendapat apa yang kita pinta. Man jadda wajada.


Kamar Kost Tempatku Berfikir, 23 Feb 2012

Selasa, 21 Februari 2012

Dulu Waktu Masih Kecil

Kita pernah belajar bersama
tentang Pendidikan Moral Pancasila
tentang tenggang rasa,
gotong royong,
menghormati dan menghargai sesama
Tentang indahnya rasa bersaudara
tak saling menghina,
pantang saling mencela
Mengutamakan kepentingan umum diatas kepentingan sendiri katanya,
Belajar bahwa kesusahanmu adalah kesusahanku juga
Merasa akrab meski berbeda suku dan bahasa
Meski rambutku ikal rambutmu lurus adanya
Kulitpun tak serupa
Ada yang hitam legam, ada yang sawo matang, ada kuning langsat, ada juga putih pucat warnanya
Ada yang halus ada yang kasar,
ada yang pendiam ada yang blak-blakan perawakannya
Ada yang berucap 'Piye kabare?' untuk menyapa
Ada yang 'Kumaha damang?' ada yang 'Punapi gatra?'
Yang lebih barat berkata 'Boa kabarmuna?' juga 'Ba a kaba?'
Yang lebih timur semangat bertanya 'Apa kareba?'
Sapaan sederhana dengan dialek berbeda
Membuat kita semakin berwarna
Kita pernah belajar bersama
tentang nikmatnya jadi Indonesia
Tapi entah mengapa
kini konflik suku dimana-mana
Sedikit emosi maka parang yang bicara
Masalah kecil dibesarkan jadi bola raksasa
Api kecil bukan dipadamkan malah disulut agar semakin besar kobarnya
Kulit gelapku malah kau hina
Rambut keritingku jadi bahan tawa
Celaan jadi bumbu percakapan kita
Ejekkan tak ubahnya seperti dzikir yang mengudara
Berucap kasar dan ngotot kita saling berlomba
Tak jarang ucapan kotor ikut membahana
Kita ini yang katanya saudara
Saudara macam apa?
Bila tawuran malah merajalela
Saling pukul sudah biasa
Marah mudah meletup tak terkira
Saling serang jadi solusinya
Mana pelajaran tenggang rasa,
mana pelajaran tentang bersaudara
Entah aku yang tak ingat,
ataukah kau yang sudah lupa?

Dulu waktu kecil
Kau dan aku pernah belajar bersama
Tentang indahnya Bahasa Indonesia
tentang puisi dan sejenisnya
tentang paragraf dan alenia
tentang majas beraneka rupa
tentang peribahasa yang mempesona
tentang kalimat efektif, sesuai ejaan yang disempurnakan katanya
Dari guru kita mendapat cerita
dongeng-dongeng yang sarat makna
Terlena kita dengan sajak-sajak indah
karya penulis-penulis yang bersahaja
Kita ikrarkan bersama Bahasa Persatuan Bahasa Indonesia
Tapi entah mengapa
kini yang sering kudengar tak lagi Bahasa Indonesia yang konon santun bunyinya
Malah bahasa yang dibilang 'gaul' oleh anak muda
'Elo, guwe' tak pernah kutemui dalam kamus mana saja
tapi sudah jadi semacam mantra
karena kesulitan menyebut 'kau, aku' saja
Bahasa Indonesia katanya indah
indah macam apa?
Bila diucap campur aduk tak jelas maksudnya
bila bahasa slengekan diutarakan tanpa merasa bersalah
Ingatkah tentang Bahasa Indonesia yang santun katanya?
Maka mana santunnya,
bila kata-kata kotor sudah biasa
kata-kata jorok laksana tasbih yang melantun begitu saja
Entah aku yang tak ingat,
ataukah kau yang sudah lupa?

Dulu waktu kecil
Kita pernah belajar Pendidikan Agama Islam bersama
Tentang sholat lima waktu wajib hukumnya
tentang puasa Romadhon harus ditunaikan pula
tentang zakat, infaq, shodaqoh untuk kemaslahatan bersama
tentang berbakti pada orang tua
tentang kasih sayang sesama makhluk ciptaan-Nya
tentang Islam rahmat bagi alam semesta
Tapi entah mengapa
kini di surau-surau sering sepi tiap tiba waktu menghadap-Nya
Sibuk kerja sudah jadi berhala yang membuat kita lupa
Sehabis maghrib tak lagi terdengar anak-anak riang mengaji
lebih senang nonton kartun di depan tivi
mama-papa tak merasa perlu menasehati,
yang penting anak tak rewel, siapa peduli
Orang kaya merasa harta tak perlu dibagi-bagi
Lelah bekerja menumpuk harta untuk kejayaan sendiri
Fakir miskin, kaum dhuafa biarlah kelaparan mati
Tak sadar itu titipan Ilahi,
merasa hidup di dunia ini akan abadi
Kita yang bilang Islam itu indah
indah macam apa?
bila sesama muslim saling menghujat dan mencerca,
saling mengkafirkan satu dengan lainnya
Berucap kotor seolah mulut tak akan dimintai tanggungjawabnya
Menggunjing dan memfitnah seolah tak yakin Alloh Mengetahui Segala
Menjadikan ibu-bapak sebagai budak-budak baru kita
yang harus menyiapkan dan mencukupi semua yang diminta
Lebih penting pacar bahagia ketimbang merendahkan diri mencium kaki orang tua
seolah tak percaya surga disiapkan disana
Kita yang katanya khalifah
diamanahi Tuhan yaitu bumi dan isinya
tapi yang diembani amanah malah khianat pada titah dari-Nya
Bumi dieksploitasi seolah takkan ada habisnya
hutan dirambah tak bersisa
Dan layaknya kacang lupa kulitnya
puas menikmati kekayaan alam, lantas dibiarkan begitu saja
tak mau tahu bagaimana menjaga kelestarian planetnya yang semakin menua
Inikah keindahan agama yang pernah kita terima?
Entah aku yang tak ingat,
ataukah kau yang sudah lupa?

Tuhan, kami perlu belajar lagi
pelajaran waktu masih kecil dulu tak mampu kami cerna kembali
Semoga Engkau Berkenan Sabar pada kami
Jangan terburu menghukum kami
bila kami belum mengerti


Klaten, 21 Feb 2012
(dalam proses belajar)

Pegawai Negeri

-Taufiq Ismail-

Setiap kami menyaksikan berbagai penghargaan diberikan
Di istana negara, dalam macam-macam upacara
Satu saja yang tak tampak di layar kaca
Penyerahan medali dan selempang warni-warna pada
Pegawai Negeri
Paling Jujur
Tahun Ini
Wakil dari mereka yang tak pernah kecukupan dalam rezeki
Wakil dari mereka yang sudah luluh dalam keluh
Anak-anak berlahiran juga, nafkah selalu payah
Dalam pemilihan umum selalu diancam macam-macam
Tak pandai ngobyek, tak disertakan dalam proyek
Dalam kalkulasi hidup mana pernah bisa cukup
Tapi ajaib tak sampai terdengar bergeletakan kelaparan
Ada saja jalan keluar yang meringankan beban
Anak-anak pun tahu diri orang tua pegawai negeri
Susah payah sekolah dan kuliah, dan kok ya jadi
Insinyur, dokter, pengacara, S-dua dan Pi-Eic-Di
Lumayanlah, walau tak sangat banyak barangkali
Apabila di dunia ada tujuh macam keajaiban
Maka fenomena pegawai negeri sini mesti yang ke delapan
Menurut teori mutakhir administrasi dan metoda renumerasi
Mestinya di awal karier dulu dari dunia sudah permisi
Memang ada yang terlibat proyek dan bersiram komisi
Tapi itu ‘kan jumlahnya terbatas sekali, yakni
Mereka yang berkerumun di sekitar keran pembangunan
Selebihnya hidup rutin ya begitu itu
Dan pastilah ada juga yang jujur secara sejati
Yang membuat lentur tegang-kakunya prosedur
Bukan mempersukar-sukar, justru memudahkan urusan
Yang betul-betul melayani rakyat, bukan budak kekuasaan
Yang susah payah istikomah di dalam kehalalan rezeki
Yang menahankan pedihnya susah nafkah
Yang masih saja bisa bertahan dilanda arus materi
Mereka tak tampak oleh mata kami
Mereka bukan tipe mengeluh-mengadu ke sana ke mari
Mungkin karena maqamnya sudah mirip orang sufi
Siapa tahu mereka lah sebenar penyangga struktur ini
Yang begitu lapuk rayap dan roboh sudah mesti
Tapi sampai sekarang masih juga berdiri
Mereka sungguh kami hormati
Terutama para guru yang begitu sabar menyebar ilmu
Dan semua yang berdedikasi sejati di struktur birokrasi
Masih tetap bertahan diterjang gelombang hidup serba materi
Kalian tidak nampak, karena memang merundukkan diri.
1998

Senin, 20 Februari 2012

Mahasuci Alloh, Yang Telah Membuat Jantung Berdetak

Apa jadinya bila jantung tidak lagi berdetak normal seperti biasanya? Bagaimana bila jantung mulai rewel dalam bekerja menunaikan titah Tuhan untuk mengalirkan darah ke seluruh tubuh kita? Pernahkah terpikirkan jantung yang mula-mula rutin memompa kemudian secara mendadak, tanpa tanda apa-apa, berhenti melaksanakan tugasnya? Tak terbayang bagaimana rasanya, atau malah saat itu kita sudah tak lagi merasakan apa-apa?

Bekerja di ruang penyakit jantung memang ada-ada saja ceritanya. Sering aku temui pasien-pasien kritis dengan berbagai macam rupa, karena memang dari segi medis sudah kecil harapan hidupnya, maka bila akhirnya meninggal sudah merupakan hal yang biasa. Tapi lain soal bila pasien yang semula sudah segar fisiknya, bisa duduk-duduk, mengobrol dengan keluarga atau pasien yang ada di sebelahnya, malah tanpa aba-aba, sekonyong-konyong, ujug-ujug, henti jantung begitu saja.

Ada juga yang aneh-aneh penyebabnya, ada yang karena tersedak saat makan, karena bersin lalu mendadak tidak sadar, kelelahan karena habis ke kamar mandi, sampai-sampai ada juga pasien yang sedang tidur pulas, lantas karena mimpi buruk, lalu bablas. Dan bekerja di lingkungan seperti ini memang butuh pengawasan ekstra. Pasien harus benar-benar terpantau aktivitasnya. Tindakan cepat dan tanggap juga mutlak diperlukan segera.

Sudden death. Ini istilah kerennya. Dan pasien-pasien dengan penyakit jantung sering kedapatan menjadi langganannya. Pernah suatu ketika, ada pasien yang oleh dokter sudah layak untuk dipulangkan. Dari fisiknya pasien sudah seperti orang sehat saja. Bisa makan sendiri, duduk santai, dan berbincang-bincang dengan orang lain. Namun saat sedang tidur, pasien tiba-tiba berteriak, tersentak kaget, persis seperti orang yang baru saja mimpi buruk. Dan sejurus kemudian berhenti napasnya, berhenti detak jantungnya. Keluarga yang tahu kondisi tersebut segera melapor kepada kami yang jadi perawat jaga, dan tak berselang lama bantuan hidup dasar segera diberikan. Alhamdulillah pertolongan berhasil, pasien ingat kembali bagaimana caranya bernapas, selamat.

Itu ceritaku di rumah sakit. Tampak sederhana bukan? Dan hampir tidak bisa dipercaya, masak orang tidur bisa mati mendadak? Namun bagaimanapun juga beginilah realitanya. Hampir tiap kali dinas, selalu ada saja 'sensasi keterkejutan' yang kuterima dalam bekerja. Pasien yang semula tenang mendadak jadi kritis. Dan soal perawatan jenazah, mungkin dari sekian banyak bangsal di rumah sakit ini, ruanganku bisa jadi pemecah rekornya (mengingat bangsal ini juga menampung pasien syaraf yang kebanyakan sudah dalam kondisi koma, dan penyakit kritis lain yang sebetulnya masih memerlukan pemantauan tapi karena kecil harapan hidupnya, sehingga tak layak masuk ruang perawatan intensif/ICU).

Namun kembali lagi, kalau yang meninggal itu sudah dalam kondisi kritis, secara nalar ini masih 'bisa diterima'. Tapi bila yang meninggal mendadak justru pasien yang sudah dinyatakan sehat, akan jadi lain masalahnya. Kita tentunya juga masih ingat tentang kematian mendadak yang dialami beberapa orang terkenal di negeri ini. Bahkan ada yang meninggal justru saat sedang melakukan aktivitas yang menyehatkan, seperti olah raga. Tapi apa mau dikata, serangan jantung tak bisa diajak janjian kapan datangnya, sehingga mereka pun tak terselamatkan nyawanya.

Dan di luar kuasa pikiran dan nalar kita dalam memahami kematian mendadak ini, tentu kita juga wajib menyadari bahwa ada Yang Lebih Berkuasa dalam segala urusan. Seyogyanya kita harus menerima bahwa hidup dan mati sudah dijadwalkan dengan rapi oleh Alloh Subhanahu wa ta'ala. Dia yang sudah punya agenda buat kita, mau mati kapan, dimana, dan dalam keadaan apa. Tak peduli dalam kondisi apapun. Saat kita sedang makan, tidur, duduk, berbaring, berkendara, bekerja, bersantai, membaca, main game, update status, atau sedang menulis blog sekalipun. Bila waktunya tiba maka tak ada lagi penundaan dan tawar menawar. Malaikat Izroil tak pernah segan-segan dalam menjalankan amanat dari Tuhannya.

Ini hanya secuil kisah tentang betapa vitalnya organ yang namanya jantung. Perasaan nyeri dada sebelah kiri, sesak nafas, tak toleran terhadap aktivitas sedang sampai ringan bisa jadi sebuah pertanda. Ritme detaknya melambat atau semakin cepat di luar batas normal, sudah harus jadi kewaspadaan. Apalagi kalau sudah tak teratur iramanya, tak sama jedanya dari satu detak ke detak berikutnya. Perlu dilakukan perekaman jantung untuk dapat diketahui sebab musababnya, sehingga penanganan dini bisa segera diberikan.

Kita sudah tahu bahayanya. Kita juga tentunya sudah lebih dari yang namanya faham soal pencegahan penyakit jantung. Tidak ada penanggulangan yang lebih baik untuk mencegah penyakit dan serangan jantung, di samping gaya hidup sehat (seperti sering bangun lebih pagi, tidak sering tidur terlalu larut malam, dan menghindari rokok dan minuman beralkohol), pola makanan yang sehat (memperbanyak makan makanan berserat dan bersayur, serta tidak terlalu banyak makan makanan berlemak dan berkolesterol tinggi), dan olah raga yang teratur.

Tapi yang jadi pertanyaan, bagaimana penerapannya dalam kehidupan kita? Masihkah kita berpikir 'mumpung masih muda', 'mumpung bisa makan enak', dan 'mumpung-mumpung' lainnya?

Jangan pernah mengira pemikiran 'mumpung-mumpung' ini tak akan ada balasannya. Sejatinya kita hidup di dunia telah diembani amanah. Dan jantung adalah salah satu amanah yang diberikan oleh-Nya. Kita ditugaskan untuk menjaga kesehatan tubuh sebaik-baiknya agar dapat digunakan untuk beribadah dengan seoptimal mungkin. Bila kita menyepelekan, apa bukan dzolim namanya?

Alloh telah punya Kuasa mengatur detak jantung kita. Mengatur kekuatan pompa dan iramanya sehingga kita bisa beraktivitas dengan leluasa. Dia juga yang punya Kehendak mengatur kapan saatnya jantung ini berhenti menunaikan tugasnya. Tak perlu konfirmasi dulu pada kita. Tak perlu menunggu kita siap. Kapan saja, dimana saja.

Mahasuci Alloh, Yang Telah Membuat Jantung Berdetak. Semoga nanti saat Dia putuskan menghentikan detakan itu, kita telah punya cukup bekal untuk kembali menghadap-Nya.


Kamar Kost, 20 Feb 2012

Jumat, 17 Februari 2012

Tuhan, Maaf, Sholat Kami Masih Amburadul

Di sini, di tempat ini
Seruan kebesaran-Mu digaungkan
Dipancarkan ke semua penjuru
Sehari lima kali waktu

Di sini, di tempat ini
Panggilan untuk kami
datang lima kali
dalam sehari
Namun tetap sepi
Entah tak dengar entah tak peduli

Hanya sekali waktu
dalam sebuah hari
selama seminggu
Kami sempatkan diri
meramaikan rumah-Mu
Menunaikan ibadah wajib
sekali seminggu itu
Sisanya lima waktu biasa
Rumah-Mu kembali sepi
Entah tak dengar entah tak peduli

Kami sering lupa, sering lalai
Saat Kau panggil kami
Malah kusuruh Kau untuk menanti
'Tunggu dulu', kataku dalam hati
Saat Kau ajak kami menuju-Mu
Kami malah terus bergulat dengan waktu
'Sebentar masih sibuk', desahku mengeluh

Dalam menghadap-Mu
tak pernah kami sempurna
tak pernah tepat waktu
selalu kalah dengan nafsu

Shubuh kutunaikan di waktu Dhuha
Dzuhur terbengkalai karena kerja
Ashar sering lupa karena lelah
Maghrib terlewat karena sempit waktunya
Isya tak ingat, ketiduran seperti biasa

Berdiri menghadap-Mu
tak pernah kami sempurna
selalu teringat ini-itu
selalu terbayang sesuatu

Jasad ini menghadap-Mu
tapi tidak dengan hatiku
Mulut ini menyebut Asma-Mu
tapi tidak dengan hatiku

Kuucap janji sholatku untuk-Mu,
Kuikrarkan ibadahku hanya pada-Mu,
Dan dengan lisan kunyatakan
hidup dan matiku karena-Mu,
tapi tidak dengan hatiku

Tuhan, kami sering lupa, sering lalai
Kami sholat jikalau kami sedang mau
Tidak sibuk maka kami tepat waktu
Jika Kau beri rizki
kami mengingat-Mu
Jika kau tegur kami
barulah diri ini bisa kembali

Jika nikmat datang
sholat kami sebagai syukur
Jika petaka yang datang
maka kami sujud tersungkur

Sisanya kami lupa,
menganggap karena sholat sudah pernah,
maka kami lakukan sekenanya
Tak bernilai
Tak peduli apa Kau akan terima

Jangan-jangan memang ini tabiat kami
mengingat-Mu hanya disaat butuh
Lantas mencampakkan-Mu
setelah selesai urusan kami
Kembali lupa lagi

Ajari kami Ya Tuhan,
bagaimana jalan menyembah-Mu,
agar kami bersungguh-sungguh,
mau menyadari,
kalau memang hanya kepada-Mu
seharusnya kami mengabdi

Jangan seperti selama ini
tak berasa ibadah kami
tuntutan kewajiban yang kami cari
bukan kesadaran bahwa kami seorang abdi
yang tugasnya harusnya berbakti

Tuhan, maaf, sholat kami masih amburadul

Klaten, 13 Nov 2011
(dalam perenungan)

Merindu Pilu Bersamamu, Saudara Islamku

Langit memerah
Semburat senja
Desir angin menghempaskan debu
Berterbangan
Batu-batu jadi saksi bisu
Tanah kering ikut hidup
mendengar desingan peluru
kesana kemari
Dedaunan pohon tertiup kasar
Menghirup aroma amis
sesekali menatap pilu
pada anak-anak yang menangis,
sore itu

Di perbatasan mereka bertempat,
perbatasan yang dibuat-buat
oleh kaum terlaknat
untuk semakin menjerat
manusia-manusia yang semakin sekarat

Wajah-wajah pias
pucat berbalut debu
Memelas
Rengekan bayi mencari susu
Anak kecil meronta
perutnya minta diisi
Wanita-wanita bersimpuh pilu
bergolak dengan asap mengepul
menyiapkan saji
roti kering tanpa isi
cukup mengganjal perut
buat bertahan hidup lagi

Laki-laki kulit legam
menahan terik
membahu melawan penindasan
tanah mereka direnggut
hidup tenang mereka tercerabut
harga diri mereka tersulut

Kesulitan pangan di rumah sendiri
kelaparan di bumi
tak bisa hidup tenang di tanah sendiri
tersingkir ke pinggir,
terdesak,
hanya tinggal dalam wilayah
satu pijakan

Tuhan, aku rindu
sungguh-sungguh rindu
membahu melawan kejam
bersama para manusia itu

Andai mampu kuarungi dimensi
ruang dan waktu

Ah, sayangnya tak sedikitpun
pernah kutemui mereka

Tanah dan batu kering itu
sebatas imajinasiku
Desir angin panas
tak sekalipun pernah kurasa membelai kulitku
Bau amis tak pernah tercium
Tak pernah kurasa

Belum pernah teraba
Belum pernah dalam hatiku
langsung merasakan perih bersama mereka,
Ikut pedih,
dengan orang-orang itu

Tuhan, aku rindu kesana
jika kau ijinkan
kirimlah aku
bersama malaikat penolong-Mu
Meski jalanku tanah lapang bertabur beling
Merintang angin menebar sembilu,
menyayat tubuh
Walau desing peluru mengintaiku
Aku ingin kesana,
ikut menangis bersama mereka
Terpinggir
di atas tanah kelahirannya sendiri
Pilu

Semarang, 5 Jan 2009
(dalam asa syahid sebagai petugas medis disana, semoga)

Kamis, 16 Februari 2012

Jangan Seperti Pencuri Sandal dan Orang yang Dicuri Sandalnya

Analogi ini mendadak melintas begitu saja di kepalaku, Kawan. Aku teringat beberapa waktu lalu saat aku kehilangan sandal slop coklat kesayanganku. Dan tempat kejadian perkara hilangnya sandal itu, justru di lokasi yang harusnya nilai-nilai kejujuran dijunjung tinggi. Sebuah tempat yang harusnya dimuliakan, sebagai sarana untuk mendekatkan diri pada Sang Pencipta : Masjid. Engkau mungkin sudah tidak kaget, mengingat kejadian serupa sudah sering terjadi, dan bisa saja engkau pernah menjadi salah satu korbannya.

Bukan soal nilai sandalnya Kawan. Sungguh bukan. Semula aku ingin berpikir sandal itu mungkin tertukar saat jama'ah lain pulang. Karena saat kejadian itu, aku melihat ada sandal slop juga yang tidak bertuan. Modelnya hampir sama dengan sandal punyaku, tapi sandal tak bertuan ini masih tampak lebih bagus, elegan dan berkelas. Jelas bukan sandal murahan seharga sepuluh atau dua puluh ribu.

Tapi kalian jangan su'udzon dulu ya Kawan-Kawan. Aku tentu tidak lantas memakainya. Tadinya aku memang berpikir sandalku 'mungkin tertukar' dengan sandal tak bertuan ini. Namun aku masih sangat ragu, mana mungkin pemiliknya tidak bisa membedakan sandal bagus dan kurang bagus (aku lebih suka menyebut sandalku 'kurang bagus'--meski kenyataannya memang tidak bagus). Selintas memang sandal kami hampir mirip, tapi jelas-jelas berbeda dilihat dari sudut mana saja.

Maka pemikiranku benar adanya. Aku akhirnya menjadi yakin sandalku memang hilang karena dicuri, bukan tertukar. Pasalnya, si tuan pemilik sandal yang kukira tak bertuan itu baru keluar dari masjid. Kemudian dengan santai dan menawan memakai sandal mahalnya. Lalu melangkah mantap setelah sempat mengucap salam dan tersenyum padaku yang masih berdiri terpaku. Nestapa. Galau menerima kenyataan kalau sandal coklat kesayanganku raib dicuri orang. Dan yang lebih melas lagi, membayangkan harus pulang di siang bolong yang panas dengan bertelanjang kaki.

Apa nilai yang bisa diambil Kawan? Coba engkau bayangkan, bila saat itu aku punya perangai buruk. Setelah tragedi kehilangan sandal itu, ternyata kulihat sandal yang mirip punyaku, bahkan lebih bagus, lebih mahal. Kesempatan baik bukan? Berpikir cepat, dengan alibi sandal tertukar sudah umum terjadi di masjid, maka dengan leluasa bisa kugondol sandal itu sebagai pengganti sandal slop coklat kesayanganku yang hilang. Tak terlalu jadi masalah bukan? Karena sandal tertukar mah sudah lazim adanya. Namun jika demikian, lantas apa bedanya aku dengan si pencuri sandal Kawan?

Melakukan kejahatan untuk membalas kejahatan. Berbuat buruk untuk membalas keburukan. Mengambil sandal orang karena sandal kita dicuri. Membalas menggunjing dan menjelek-jelekkan orang, karena kita telah digunjing dan dijelek-jelekkan. Membalas orang yang menghina kita dengan ikut-ikutan menghinanya, bahkan tak jarang hinaan dari kita justru jauh lebih pedas didengarnya.

Apa lagi kondisi lain yang hampir sama Kawan? Mungkin kita--terlebih aku--sering tanpa sadar (atau banyak sadarnya) mendzolimi orang yang telah mendzolimi kita. Bahkan karena nafsu, perlakuan kita mungkin tak setimpal dengan apa yang sudah kita terima. Berlebihan dalam kita membalasnya. Balasan dari kita jauh lebih menyakitkan bila dibandingkan dengan apa yang kita dapatkan. Lantas apa beda kita dengan mereka?

Apa bedanya kita dengan penggunjing bila kita membalas gunjingan orang. Apa bedanya kita dengan penjahat bila kita membalas kejahatan orang. Apa bedanya kita dengan pemfitnah bila kita membalas fitnahan orang. Apa bedanya kita dengan pencuri sandal bila kita juga malah mencuri sandal orang.

Tak ada bedanya, Kawan. Sungguh tak ada. Dalih apapun yang kita punya, membalas keburukan sama saja kita telah menstempel jidat kita sendiri dengan logo keburukan pula. Lalu apa solusinya? Ikhlaskan saja? berarti kalau ada penjahat kita biarkan saja? Para koruptor itu kita ikhlaskan saja mengambil uang kita?

Ah, kau ini Kawan selalu saja membuat pertanyaan yang sulit kujawab. Yang kumaksud disini adalah kedzoliman yang secara langsung berdampak buruk bagi kita. Misal kita dihina, digunjingkan,atau difitnah, maka akan lebih indah kalau kita bisa membuka hati untuk memaafkan. Tanpa perlu membalas menggunjing atau memfitnah mereka, karena kembali lagi, jika demikian yang kita lakukan, maka kita tak ada bedanya dengan mereka.

Soal koruptor itu, ah, sebenarnya aku malas membahasnya Kawan. Akan tetapi dengarlah ini, pengadilan dunia bisa jadi tidak adil, tapi kita mesti yakin bahwa suatu saat akan datang masanya Pengadilan Tinggi di Hari Akhir dimana Alloh langsung jadi Hakimnya. Jangan harap kita bisa lepas dari keburukan meski seberat biji sawi saja kecuali kita akan menerima balasnya. Dan jangan pula khawatir dengan kebaikan meski seberat atom saja kecuali kita juga akan menerima balasan nikmatnya (lihat Al Qur'an Surah Az Zalzalah). Bukankah Alloh Itu Hakim Yang Sebaik-Baiknya? Jadi tidak perlu kan repot-repot mencuri uang koruptor untuk membalasnya, atau malah berpikiran lebih sempit : karena orang lain bisa korupsi uang kita, maka akan kita balas dengan melakulan korupsi juga. Lho lantas bedanya apa kita dengan koruptor itu?

Aku yang jelas-jelas dungu soal-menyoal hukum dan peradilan, ingin berpendapat menurutku biarlah hukum di Indonesia berjalan demikian adanya, sambil terus dikawal prosesnya apakah telah sesuai dengan peraturan yang ada. Sambil menyiapkan langkah memberantas dan mencegah mewabahnya korupsi dengan metode yang lebih konkret. Dan tahukah engkau caranya? Bagiku, langkah paling tepat menekan korupsi di Indonesia adalah dengan memastikan masing-masing dari diri kita tidak melakukan tindakan korupsi (korupsi saat kerja, korupsi uang, korupsi waktu, dsb).

Kembali pada ikhlas tadi, Kawan. Sulit bukan, menahan panasnya telinga mendengar hinaan orang. Menahan remuknya hati difitnah orang. Menahan kalut karena digunjing orang. Dan aku (meski sangat sangat sepele) menahan galau karena sandal slop coklat kesayanganku dicuri orang. Sulit bagi kita menerima, dan lebih sulit lagi menahan diri untuk tidak membalasnya. Orang harus tahu yang kita rasakan, pedihnya difitnah, sakit hatinya dihina dan digunjing dengan berita yang macam-macam.

Kau boleh membalasnya Kawan. Tentu boleh. Tapi balasan dengan hati, bukan dengan nafsu. Balasan dengan lisan yang terus beristighfar mengoreksi kekurangan diri kalau-kalau yang dituduhkan itu benar. Dan tak bosan mengingatkan mereka bahwa apa yang diperbuatnya salah. Balasan dengan tulus mendoakan agar mereka tersadarkan dan diampuni dosanya. Dan membiarkan Hak Alloh Sebagai Hakim Yang Seadil-Adilnya untuk memberi keputusan. Bukan justru dengan nafsu kita membalas keburukan itu. Karena sungguh Kawan, balasan yang kita berikan tak akan pernah setimpal. Kita dengan kesumat yang mendalam bisa jadi membalas tak sesuai porsinya. Berlebihan. Maka bukankah lebih indah bila kita bisa saling memaafkan?

Sulit bukan? Aku sendiri galau saat membuat tulisan ini. Bisa saja aku ini 'Jarkoni' (iso ujar ora iso nglakoni--singkatnya : omong doank). Masya Alloh. Aku berlindung kepada Alloh dari sifat seperti ini. Maka dengan segala kerendahan hatiku, aku mengajakmu belajar Kawan. Belajar tentang sabar dan ikhlas. Dengan senantiasa mengharap Ridho Alloh, semoga Dia bermurah hati memberi kita kekuatan untuk memahami.

Suatu pemahaman yang telah Dia ilhamkan kepada manusia paling mulia, Nabi Muhammad Shollallohu 'alaihi wa sallam. Pemahaman untuk sabar dan ikhlas. Ingatkah dengan sebuah riwayat yang menceritakan bahwa suatu ketika Rosul pernah dilempari batu dan dihina, kemudian Jibril datang bermaksud membela Rosul. Ditawarkan bantuan untuk menghancurkan masyarakat yang telah melempar batu dan menghinanya. Akan tetapi Kawan, apa yang manusia mulia ini lakukan? Dia justru melarang Jibril. Dengan sabar dan ikhlas Nabi Muhammad memahami bahwa masyarakat yang menghinanya itu belum tahu tentang kebenaran, kalaulah tahu tentu mereka tidak akan berbuat demikian padanya. Subhanalloh.

Sebuah pelajaran yang mulia Kawan. Percayalah kita memang tak akan pernah bisa semulia Rosul. Kita tak akan sanggup bersabar dan ikhlas menyetarai kesabaran dan keikhlasan Rosul. Tapi mari Kawan, kau dan aku terus berusaha mengejar cintanya, dengan selalu mengikuti ajaran dan meniru bagaimana akhlaknya kepada sesama. Semoga atas izin Alloh kita disempatkan menatap wajah Rosul yang bercahaya dan kebagian mendapat syafaatnya.

Semoga Alloh memberi kekuatan bagi kita--terlebih aku yang hina ini-- untuk bisa melaksanakan semua perintah-Nya dan dengan Rohman dan Rohim-Nya senantiasa melingkupi kita bersama dalam kedamaian dan keikhlasan untuk saling memaafkan.

Semoga kita tidak seperti pencuri sandal dan orang yang dicuri sandalnya.


Kamar Kost Tercinta, 16 Feb 2012

Selasa, 14 Februari 2012

Memaknai Kasih Sayang, Bukan dengan Tradisi yang Dilarang

Menurutmu apa yang identik dengan Februari Kawan? Kebanyakan darimu tentu akan berpikir soal hari valentine bukan? Hari kasih sayang katanya. Banyak orang masih merayakan hari ini sebagai ajang mewujudkan kasih sayangnya terhadap pasangan masing-masing. Sungguh masih banyak. Dari strata umur dan jenjang pendidikan berbeda-beda. Dari yang wajahnya masih ingusan, sampai yang berwajah boros. Dari remaja tanggung yang baru tahu soal baligh, sampai orang tua yang kelakuannya masih seperti ABG saja (ingin selalu dibilang awet muda, seolah tak terima dengan kejamnya takdir yang mulai melekuk-lekukkan lapisan luar kulitnya). Tak pandang jenis kelamin. Wanita dan pria sama saja, memanfaatkan moment ini untuk 'berkasih sayang', memberi sesuatu sebagai wujud cintanya : coklat, bunga, atau boneka. Ah, kenapa nilai cinta bisa menjadi begitu sederhana?

Sesungguhnya kasih sayang sesama manusia telah terekam sangat indah kurang lebih 14 abad silam. Rosul dengan begitu luar biasa telah mengajarkan kaumnya tentang saling menyayangi, saling berbagi. Bahkan soal ketulusan cinta itu sendiri, tiada yang mampu memberikannya, melalui sebuah pengorbanan yang keras dan gigih, perasaan yang lembut dan sabar, melebihi yang Rosul telah berikan kepada kita ummatnya. Ya, untuk kita Kawan. Bahkan dalam sebuah riwayat disebutkan, menjelang Rosul wafat untuk menghadap Sang Kekasih, Alloh Subhanahu wa ta’ala, terucap perasaan khawatir dalam dirinya akan nasib ummat Islam sepeninggalnya kelak. Dia sungguh cemas, mengkhawatirkan kita. Kalau-kalau kita salah jalan. Kalau-kalau kita kembali terperosok ke dalam lubang ke-jahiliyah-an. Dia sungguh takut kita tercecer, keluar dari kumpulan ummatnya, saat seluruh manusia akan dikumpulkan di hari akhir kelak. Sungguh kasih sayang yang mulia, dari seorang manusia paling mulia.

Sejatinya, aku tahu Kawan, sangat tahu, bahwa engkau telah tahu. Dalam Islam tak mengenal yang namanya hari valentine. Hari yang mengkhususkan semua pasangan berkasih-sayang. Hari saling berbagi coklat dan bingkisan. Aku tahu kau juga tentunya faham Kawan, bahwa valentine merupakan tradisi kaum kafir. Sejarahnya selalu dihubung-hubungkan dengan tradisi orang-orang penting -dalam konteks mereka tentunya- pada zaman dulu. Dan kita juga tentunya sama-sama mengerti Kawan, bahwa Rosululloh jelas-jelas melarang kita untuk ikut-ikutan budaya kaum kafir (tasyabbuh) yang jelas-jelas tidak sesuai dengan syariat kita. Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa ‘ala aalihi wasallam bersabda : ”Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut”(HR. Abu Dawud dan dishohihkan oleh Ibnu Hibban).

Dan larangan ini jelas untuk kemurnian syariat. Sayangnya masih sering dilanggar. Bayangkan betapa banyak anak muda yang secara berlebihan mengekspresikan rasa cinta pada pasangannya. Pasangan yang belum halal baginya. Padahal Kawan, jika kita mau merenungkan, ada orang yang sebenarnya paling pantas mendapat kata cinta dari kita. Ada orang yang lebih layak kita perlakukan istimewa, meskipun orang itu bisa jadi tak mengharapkannya dari kita. Kau sudah tahu siapa mereka, Kawan. Sungguh-sungguh tahu. Merekalah orang tua kita.

Ibu-Bapaklah yang dengan tulus merawat, mendidik, dan membesarkan kita. Bukan orang yang oleh akal kita tetapkan sebagai kekasih kita. Bukan orang yang oleh nafsu kita jadikan sebagai pacar kita. Mereka, orang yang kita sebut pacar atau kekasih itu tak tahu apa-apa. Sedikitpun tak tahu. Memangnya tahu apa mereka soal membersihkan najis yang dengan sembarangan kita keluarkan saat kita masih bayi dulu? Tahu apa mereka soal rengekan tengah malam yang hampir selalu mengganggu waktu tidur? Bahkan mereka juga tak pernah tahu peluh keringat yang menetes dari kening Ibu-Bapak kita untuk menghidupi anaknya. Mereka-orang yang kita anggap kekasih atau pacar itu- tak pernah tahu buliran airmata Ibu-Bapak yang mengalir saat kita sakit. Perasaan cemas dan khawatir orang tua yang menanti kepulangan anak tercintanya. Ibu yang selalu merindukan kembali mengecup kening anaknya yang telah tumbuh dewasa. Ayah yang selalu rindu menggendong jagoan kecilnya. Mereka-orang yang kita anggap kekasih atau pacar itu- tak pernah tahu Kawan. Tak pernah tahu.

Menjadi sebuah perenungan bagi kita Kawan—terlebih bagiku. Kapan terakhir kali aku bilang cinta kepada ibu karena Alloh, atau bahkan tidak pernah sama sekali? Kapan terakhir kali aku memeluk ayah, dan berucap terima kasih atas jerih payahnya selama ini, atau bahkan tidak pernah sama sekali? Lebih banyak mana, waktu yang kuhabiskan untuk bekerja, ketimbang menyempatkan diri untuk mengunjungi mereka. Lebih sering mana, kubiarkan waktuku habis percuma untuk bersenang-senang dengan orang lain, merayakan kesuksesan dengan teman, ketimbang menyempatkan diri duduk bersama mereka, membuatkan secangkir teh, dan bersenda gurau dengannya. Lebih sering mana, aku habiskan semua perasaanku menumpahkan gundah hati atau tertawa riang dengan bercerita tentang pengalaman tak terlupakan kepada orang lain, daripada meluapkannya pada orang tua sendiri. Sungguh jarang Kawan, bahkan aku lupa kapan terakhir aku melakukannya, atau bahkan tidak pernah?

Maka lewat tulisan ini aku mengajakmu memikirkan wajah renta mereka menunggu kita pulang. Menanti kita mengecup dengan takzim kedua tangan mereka. Memohon maaf pada orang tua atas semua kesalahan dan kelalaian kita, menyadari betapa bodoh dan bebalnya kita selama ini belum menyadari kasih sayang luar biasa yang telah mereka berikan. Dan memohon doa dan ridho dari keduanya dengan tulus ikhlas, supaya Alloh juga mau bermurah hati, berkenan juga memberikan ridho-Nya bagi kita.

Maka setelah ini, tak ada lagi istilah hari valentine dalam hidup kita Kawan. Selain bertentangan dengan syariat Islam, kita juga semestinya faham, setiap hari adalah hari kasih sayang. Berkasih sayang terhadap sesama sesuai dengan tuntunan yang telah diajarkan Rosululloh. Tak berlebihan, mengindahkan segala batasan yang memang diperlukan. Mewarnai hari dengan membuat orang lain senantiasa bahagia bersama kita. Dan yang paling penting, terus memberi yang terbaik yang bisa kita berikan kepada kedua orang tua, dan orang-orang yang juga menyayangi kita. Tak perlu lagi coklat, boneka yang lucu, atau bunga mawar yang harum baunya. Cinta tidak sesederhana itu, Kawan. Sungguh cinta tak sesederhana itu. Yang cukup kau beri adalah sebuah energi positif, sebuah energi semangat, energi kebahagiaan yang membuat kau dan aku memahami satu hal : indahnya persaudaraan karena Alloh.

Engkau bolehlah tak sependapat denganku dalam menyikapi ini. Sungguh. Engkau boleh punya pendapat sendiri Kawan-Kawanku yang baik. Engkau tentunya lebih tahu banyak hal melebihi diriku. Engkau lebih pintar memahami sebuah nilai hidup dibanding aku. Maka ijinkan aku yang bodoh ini, yang masih terseok-seok mencari ilmu ini, yang masih awam dalam kebebalan menggunakan otak yang Alloh berikan untuk sekedar belajar memahami, memiliki harapan menerima percikan ilmu yang kau sudah punya. Lewat diskusi dan saling berbagi, tanpa maksud menggurui, tanpa ada yang merasa lebih. Karena sejatinya, Alloh yang punya semua perbendaharaan ilmu di dunia. Maka kepada-Nya lah kita kembali mencari referensi.

Kau boleh menganggapku berlebihan dalam hal ini. Namun aku akan merasa lebih senang jika tulisanku bisa menjadi bahan renungan ketimbang sebagai bahan olok-olokkan. Aku dan kalian memang masih perlu belajar banyak, Kawan.

Semoga Alloh memberi kekuatan bagi kita. Kekuatan untuk saling mencintai karena Dia. Semoga Alloh berkenan menundukkan hati kita untuk selalu mengingat-Nya dan menganugerahkan ketulusan dalam jiwa agar kita dapat menyayangi sesama. Semoga Alloh menghimpun kita dalam kebahagiaan di akhirat nanti dan menaungi kita semua di hari yang tidak ada lagi naungan kecuali naungan-Nya.

Ya Alloh, Terima Kasih Engkau Sungguh Baik. Mohon dengan sangat, untuk berkenan menganugerahkan setitik saja cinta-Mu pada kami. Setitik saja tak mengapa. Karena cinta-Mu sungguh tak terhingga, khawatir kami tak sanggup menerimanya. Dan berikan kekuatan pada kami untuk dapat selalu berusaha membalas setitik cinta-Mu itu.

In My Boarding Room, 13 Feb 2012

Senin, 13 Februari 2012

Tentang Cinta, Tentang Ikhlas (sebuah kisah teladan)

Tahukah engkau siapa Salman Al Farisi? Paling tidak, mungkin pernah dengar? Ya, benar Kawan. Dia adalah salah satu sahabat nabi. Sahabat yang dengan kesungguhannya 'mencari' hidayah Alloh. Sahabat yang bertekad kuat untuk membebaskan dirinya dari perbudakan dengan menebus dirinya sendiri, agar bisa bertemu sosok Nabi Muhammad dan merasakan keindahan Islam. Sahabat yang dengan kecerdasan pikirnya mencetuskan sebuah ide briliant : membuat parit, sebagai strategi perang. Perang yang kemudian dikenal dengan Perang Khandaq, dimana pasukan Islam berhasil menang dengan gemilang.

Dan seperti yang mungkin sebagian darimu telah tahu Kawan, sahabat nabi yang satu ini ternyata juga punya kisah cinta yang luar biasa. Bisa jadi engkau pernah, bahkan mungkin telah sering membaca kisahnya berulang-ulang. Namun ijinkan aku mengulangnya kembali Kawan. Mengisahkan kembali untukmu.

Saat tiba keinginannya untuk menikah. Seorang wanita Anshor (penduduk asli Madinah) yang dikenalnya sebagai wanita mukminah lagi sholihah telah mengambil tempat di hatinya. Tentu saja bukan sebagai kekasih. Tetapi sebagai sebuah pilihan dan pilahan yang dirasa tepat. Pilihan menurut akal sehat. Dan pilahan menurut perasaan yang halus, juga ruh yang suci.

Namun, bagaimanapun juga, bagi dirinya dan muhajirin yang lain,Madinah tetap menjadi tempat yang masih asing. Madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorang pendatang sepertinya. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah yang membantu berbicara untuknya, dalam urusan khitbah. Maka disampaikanlah keinginan suci itu kepada sahabat Anshor yang dipersaudarakan dengannya, bernama Abu Darda’.

”Subhanalloh.. Wal hamdulillaah..”,alangkah senang Abu Darda’ mendengarnya. Mereka tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup, berkunjunglah kedua sahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita yang sholihah lagi bertaqwa.

”Saya adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Alloh telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rosululloh Shollalloohu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya", fasih Abu Darda’ bicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni.

”Adalah kehormatan bagi kami”,ucap tuan rumah, ”Menerima Anda berdua, sahabat Rosululloh yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang sahabat Rosululloh yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.”

Tuan rumah memberi isyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang puteri menanti dengan segala debar hati.

”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya.

”Tetapi karena Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridho Alloh saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abu Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”

Masya Alloh. Jujur Kawan, apa yang ada dalam pikiranmu jika kau menjadi Salman? Ah, ditolak saja tentu sudah sakit hati dan yang jelas malu bukan buatan. Sekarang ditambah kau harus menerima kenyataan bahwa gadis yang kau niatkan untuk meminangnya, malah lebih memilih sahabatmu sendiri. Tepat di hadapanmu. Tepat saat prosesi pinanganmu itu. Kita mungkin berpikir, kurang ajar betul, lantas menyesali keputusan kita minta tolong pada sahabat kita. Nestapa. Perih tak terkira. Sakit tak terperi.

Jelas sudah, keterusterangan ini sangat mengejutkan. Ironis. Tapi jangan pernah samakan keimanan kita dengan Salman, Kawan. Sungguh jangan. Tak tahu diri namanya.

Salman memahami betul makna sebuah keikhlasan. Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya.

Maka dengarlah ketika Salman angkat bicara.

”Allohu Akbar!” Seru Salman.

”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abu Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian.”

Subhanalloh. Cinta tak harus memiliki. Dan sejatinya kita memang tak pernah memiliki apapun dalam kehidupan ini Kawan. Salman mengajarkan kita untuk meraih kesadaran tinggi itu di tengah perasaan yang berkecamuk rumit; malu, kecewa, sedih, merasa salah memilih pengantar –untuk tidak mengatakan ’merasa dikhianati’-, merasa berada di tempat yang keliru, di negeri yang salah, dan seterusnya. Ini tak mudah. Dan kita yang sering merasa memiliki orang yang kita cintai, mari belajar pada Salman. Tentang sebuah kesadaran yang kadang harus kita munculkan dalam situasi yang tak mudah. Dan pada akhirnya semua hanya ada satu muaranya, Kawan. Ikhlas.


Sumber : Kisah-Kisah Teladan--dengan sedikit gubahan.

Senin, 06 Februari 2012

Mari Bertafakkur tentang Banjir

Pernahkah kau menerabas jalanan banjir dengan motor Kawan? Pernahkah motormu 'mlepek', mogok, dan memaksamu menuntunnya, mengarungi banjir yang tingginya hampir sepinggang? Atau pernahkah kau kepayahan karena motormu itu termasuk motor butut keluaran lama, yang butuh tenaga ekstra dan cukup menguras waktu untuk menstarter dengan menggenjot pedal, bila harus kembali menghidupkan mesinnya?
Ah, kebanyakan darimu pasti akan bilang 'pernah', bahkan mungkin kalian lebih parah lagi. Dan aku juga pernah, Kawan.
Hampir selalu tiap musim penghujan tiba, jalan utama yang aku lalui ini digenangi banjir. Jalur utama menuju ibukota provinsi. Dan seperti yang kalian juga pernah rasakan, tentu sangat merepotkan bukan? Aku sendiri tidak habis pikir, bagaimana nasib orang-orang, mulai dari pekerja sampai anak-anak sekolah, yang tiap hari melalui jalan itu. Bagaimana bila hujan deras terus mengguyur, dan banjirnya tidak surut dalam satu dua hari saja. Tentunya setiap hari mereka harus berjibaku, ibaratnya menerjang lautan, agar sampai ke tujuannya. Untungnya masih ada jalur alternatif lain yang bisa digunakan, namun harus menempuh waktu lebih lama, dan --meski tidak separah di jalur utama-- jalur alternatif ini sering dilanda banjir juga.
Hampir tiap tahun, Kawan. Tiap tiba musim penghujan.
Banjir selalu menjadi problem di kota ini. Bahkan yang terakhir kudengar ada salah satu rumah sakit yang juga ikut tergenang, menyebabkan semua petugas rumah sakit kewalahan mengevakuasi pasien dan barang-barang penting--mulai peralatan medis hingga catatan-catatan yang dianggap perlu untuk diselamatkan. Sudahkah kau bisa membayangkan kondisinya Kawan?
Jika belum akan aku beri ilustrasi lagi. Ada saudaraku yang tinggal di kota ini, di sebuah daerah pinggiran, di wilayah yang menjadi langganan banjir. Tak dapat dibilang lagi bagaimana bila banjir datang. Pemukiman tempat tinggal itu sudah tak karuan lagi bentuknya. Ada keluarga yang membuat sendiri rumah daruratnya jauh-jauh hari sebelum banjir datang (karena sudah yakin benar, kalau musim penghujan datang, artinya banjir juga akan ikut-ikutan). Dan bila kau ingin tahu Kawan, rumah darurat itu adalah bale-bale tinggi yang dibangun dari bambu, macam posko keamanan saja, bedanya perabot di dalamnya lebih lengkap, mulai dari kasur sampai perkakas dapur. Keluarga yang ekonominya lebih beruntung biasanya telah membangun rumahnya menjadi dua lantai, dan bila banjir datang lantai atas menjadi rumah darurat. Ada juga keluarga yang tanggung-tanggung. Mereka hanya meninggikan lantai rumahnya, tapi tidak dibarengi dengan meninggikan bangunan rumah (dinding dan atap rumah tidak ikut ditinggikan). Alhasil, rumah itu jadi seperti rumah liliput, karena bila kau masuk ke dalamnya dan mengangkat sedikit saja tanganmu, kau sudah bisa menyentuh langit-langit rumahnya. Sebuah bangunan dengan arsitektur paling mengenaskan dan bikin miris untuk dilihat. Sementara penduduk lain yang sudah kehabisan akal bagaimana mengatasi banjir, lebih memilih mengungsi ke rumah kerabat yang tidak banjir, dan baru kembali setelah yakin banjir benar-benar telah surut.
Masalah tidak berhenti sampai disitu Kawan, karena masih ada masalah lain yang perlu diperhatikan, khususnya masalah kesehatan. Biasanya penyakit paling ringan yang diderita masyarakatnya adalah diare dan penyakit kulit, seperti gatal-gatal dan sejenisnya.

Hampir selalu begitu Kawan. Tiap datang musim penghujan.
Akan tetapi Kawan, tahukah engkau. Dibalik semua kesulitan yang kita rasakan--melintasi lautan banjir itu-- atau bagaimana penduduk daerah langganan banjir menjalani hari-harinya. Ternyata tidak semua orang merasakan dampak negatifnya. Kemarin contohnya, saat aku melintasi jalanan banjir itu, terlihat anak-anak yang begitu riang bermain air. Di jalanan Kawan, ya di jalanan yang banjir itu. Riang sekali mereka berenang, sudah seperti di rumah sendiri, tanpa peduli kendaran yang melintas di samping mereka. Kendaraan-kendaraan besar semacam truck atau bis kota yang berbaris berjalan pelan menyusuri banjir tidak sedikitpun menggemingkan keriangan mereka. Bahkan--bagi mereka-- daya tarik utama dari kolam renang khayalan itu justru ketika kendaraan melintas, karena saat itulah riak air yang ditimbulkan akan membentuk gelombang besar, seperti deburan ombak dalam imajinasi mereka. Takutkah mereka? Tidak Kawan, justru mereka semakin semangat melompat-lompat. Kegirangan.
Ada lagi yang membuat banjir ini sebagai peluang usaha. Masih anak-anak dan sebagian remaja yang ada di sana. Mereka memanfaatkan momen ini sebagai usaha jasa untuk mendorong kendaraan-kendaraan yang mogok di tengah jalan. Upah seribu, dua ribu, hingga lima ribu perak sudah lebih dari cukup bagi mereka. Tak peduli lagi lelah bahkan resiko sakit yang siap menyerang mereka. Mereka sudah kebal, sudah terbiasa. Aku belajar sesuatu bahwa banjir ini membawa berkah juga buat sebagian yang lainnya.
Dan kisah penduduk daerah langganan banjir itu Kawan. Kau pikir mereka selalu dirundung sedih sepanjang tahun terlebih saat musim penghujan tiba? Rupanya tidak. Mereka bisa dibilang sudah terbiasa dengan banjir ini. Menjalani hari tanpa harus banyak mengeluh. Cukup berusaha bagaimana caranya bisa bertahan saat banjir datang. Dan segera berbenah, membersihkan lingkungan bila banjir telah surut. Begitu terus, setiap tahun, tiap musim penghujan tiba.
Kalian yang membaca tulisanku ini mungkin berpikir lantas langkah konkret apa yang bisa kita lakukan? Ah, kalau kau bertanya padaku, lantas aku harus bertanya pada siapa Kawan? Bukan, sama sekali bukan masalah penanganan banjir substansi yang ingin kusampaikan. Akan tetapi bagaimana kita menyikapi banjir itu sendiri bukan sebagai suatu bencana, setidaknya seperti anak-anak di jalan itu atau penduduk di daerah langganan banjir. Mencoba bersyukur dan melakukan sebaik mungkin untuk bertahan tanpa perlu menyalahkan siapapun. Karena mau menyalahkan siapa? Kau mau menyalahkan dan mencaci hujan yang tidak bersahabat? Jangan sembarangan Kawan. Hujan itu mutlak Hak Alloh. Dia yang punya putusan mau menurunkan hujan dimanapun dan kapanpun, saat kau sedang apa dan dalam keadaan bagaimanapun. Mencerca hujan sama saja kau menyepelekan berkah yang Tuhan berikan. Bukankah hujan juga merupakan rezeki? Lantas berani-beraninya kita mencerca rezeki yang Alloh turunkan, siapa kita?
Atau kau mau mencela pemerintah kota? Ah, mengapa kita tidak senang berkhusnudzon Kawan. Bapak Ibu pejabat itu tentu sudah berpikir macam-macam cara untuk mengatasi banjir. Mengatur drainase di kota besar tentu tidak semudah membalik telapak tangan kan. Ah, demonstrasi tentu memang lebih mudah dibanding memikirkan solusi sesungguhnya Kawan. Lantas bagaimana langkah konkretnya? Kau bertanya padaku, lantas aku harus bertanya pada siapa Kawan?
Aku lebih senang menyebut ini siklus alam. Sebuah indikasi logis mengingat umur bumi yang semakin menua. Ya, Tuhan sedang mengingatkan kita bahwa dunia semakin tua. Alam sudah mulai tidak bersahabat dengan kita. Lalu apakah kita akan berpangku tangan? Tentu tidak Kawan. Tentu masih banyak orang-orang pintar yang punya keinginan kuat mengatasi banjir ini, tapi bukan aku Kawan, sama sekali bukan. Aku hanya akan mengajak kalian mencoba berpikir dan merenung lagi tentang peringatan dari Tuhan. Mencoba mengajak kalian berpikir seperti anak di jalanan itu yang mengubah bencana sebagai sebuah kenikmatan bahkan sumber rezeki. Mengajak kalian seperti penduduk daerah langganan banjir itu yang mencoba bersyukur dan berusaha melakukan yang terbaik yang bisa dilakukan agar keluarga mereka bertahan saat banjir, tanpa harus banyak mengeluh. Sungguhkah kau berpikir seandainya mereka tidak tinggal di daerah itu, maka mereka tidak akan dilanda bencana banjir? Sungguhkah kau berpikir demikan?
Maka kau salah Kawan, kita salah. Tak ada jaminan di belahan bumi manapun kita tinggal, kita akan selamat dari peringatan Alloh. Tak ada jaminan kita selamat dari bencana meski tinggal dimanapun. Di daerah pesisir akan kita temui resiko banjir bahkan tsunami. Di lereng gunung seperti merapi, tak menutup kemungkinan kita diintai wedhus gembel. Atau di dataran tinggi, bahaya tanah longsor juga tidak kalah ngeri. Di mana lagi? Gempa bumi siap menghantui, lumpur panas siap menyembur tanpa perlu dikomando Tuhan dua kali.
Siapa yang bisa mencegah bala kalau Alloh sudah menetapkan datangnya bencana. Dan siapa pula yang bisa menghambat pertolongan Alloh, kalau Dia sudah berkeinginan memberi pertolongan. Tidak ada, sungguh tidak ada, Kawan.
Aku bukan mengajakmu berpikir bagaiamana mengatasi bencana. Tapi berpikir, bagaimana menyikapi peringatan dari Alloh ini. Ya, peringatan. Aku lebih senang menyebut ini peringatan, bukan adzab. Karena tentu masih banyak saudara kita yang rajin sholat berjama'ah, rajin tadarus, bersedekah, saling mengingatkan tentang yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar.
Peringatan, ya, peringatan. Alloh sedang mengingatkan kita. Dia hanya ingin kita kembali Kawan. Ya, kembali.

di-Baiti jannati-ku, 5 Feb 2012

Jumat, 03 Februari 2012

Bila Nanti Waktunya Tiba

Bila nanti waktunya tiba
langit luas bertabur gemintang
berpendar-pendar cahaya dalam malam
sejuta kerlip itu menyebar
dalam secuil galaksi angkasa raya
bulan purnama bulat mempesona
senyumnya anggun hanya kita yang tahu
lihat pada gugus bintang itu
disanalah perahu ini menuju
pada rasi bintang berformasi lima
disana telah menunggu tempat paling mulia
sekarang kudayung dulu perahu ini
sederhana tapi kuat pondasinya
aku juru mudi dan penentu arah
kau cukup hiasi perahu dengan sahaja
biar gemericik air laut menerpa
tempias ombaknya menampar sisi kiri dan kanannya
karang besar tak jadi halangan
sekuat tenaga ubah haluan
agar selamat sampai tujuan
perahu ini kususun dari bilah-bilah papan iman
Sang Pemilik Hidup jadi tumpuan
pada-Nya aku serahkan semua urusan
ombak itu biar berlalu
karang itu biar terlewati
tapi perahu ini tetap tegar berlayar

Bila nanti waktunya tiba
angin topan menderu-deru
gulungan badai menghentak perahu
cahaya petir berkilat-kilat
guntur menggelegar bertalu-talu
kusampaikan padamu
perjalanan dengan perahu ini akan makan banyak waktu
tak semudah dan seindah yang kau tahu
kau harus cukup sabar
tak selamanya tangan ini kuat mendayung
saat itu kau jadi pandu mengangkat diriku
melambungkan jiwaku
agar perahu tetap melaju

Bila nanti waktunya tiba
biar ini perahu sederhana
kecil ukurannya tak lebih empat meter panjangnya
namun kau penghiasnya
membuat perahu tampak lebih megah dari kelihatannya
tampak lebih berwibawa dari aslinya
aku juru mudi yang menentukan arah
sekuat diri menguatkan hati dan perahu ini agar tak goyah
saat datang awak-awak baru
perahu kecil ini akan melebar dengan sendirinya
menampung semua yang ada di atasnya
tetap sederhana dan bersahaja

Bila nanti waktunya tiba
awak-awak ini belajar dari kita
mengayuh perahu dan menghiasinya
agar saat mereka pindah haluan
akan lebih tegap mereka
dengan perahunya sendiri
adakalanya dalam pelayaran ini
laut tenang tak menegang
angin sepoi membelai hati
hidangan di atas nampan pualam bisa kita nikmati
lezat mengenyangkan
memberi waktu mengambil nafas dalam
untuk nanti melaju kembali
tapi ingat bahagia bukan materi
janganlah kenyang itu melenakan
hingga lupa rasanya lapar
jangan nikmat itu jadi hijab
ibarat tirai yang menghalau tatapan
memantau ke masa depan

Bila nanti waktunya tiba
pada gugusan bintang itu
pada rasi bintang berformasi lima
itulah dermaga kita
disana nikmat sesungguhnya
air minum menjulang dalam piala-piala
diambil langsung dari mata airnya
buah-buah nan ranum menyapa
makanan lezat terhidang di atas nampan berhias intan permata
kita bersantai duduk bersama
di atas permadani yang hangat dan begitu lembutnya
bersandar di dipan-dipan bersulam kelambu sutra
bersama awak-awak perahu kita
tertawa-tawa
setelah perjalanan penuh goda
diatas bulan tersenyum simpul hanya kita yang tahu
cahaya gemintang menerangi sepanjang waktu
terang
sampai tak mampu kubedakan
kapan siang kapan malam
hanya damai dan kesejukan
perahu sederhana itu
telah terlabuh
dan bersahaja karena hiasanmu

di gugusan bintang ini
rasi bintang berformasi lima
telah menanti tempat paling indah
menuju haribaan-Nya

Klaten, 24 Okt 2011
(dalam inspirasi yang mendadak muncul, meletup-letup)