Kamis, 16 Februari 2012

Jangan Seperti Pencuri Sandal dan Orang yang Dicuri Sandalnya

Analogi ini mendadak melintas begitu saja di kepalaku, Kawan. Aku teringat beberapa waktu lalu saat aku kehilangan sandal slop coklat kesayanganku. Dan tempat kejadian perkara hilangnya sandal itu, justru di lokasi yang harusnya nilai-nilai kejujuran dijunjung tinggi. Sebuah tempat yang harusnya dimuliakan, sebagai sarana untuk mendekatkan diri pada Sang Pencipta : Masjid. Engkau mungkin sudah tidak kaget, mengingat kejadian serupa sudah sering terjadi, dan bisa saja engkau pernah menjadi salah satu korbannya.

Bukan soal nilai sandalnya Kawan. Sungguh bukan. Semula aku ingin berpikir sandal itu mungkin tertukar saat jama'ah lain pulang. Karena saat kejadian itu, aku melihat ada sandal slop juga yang tidak bertuan. Modelnya hampir sama dengan sandal punyaku, tapi sandal tak bertuan ini masih tampak lebih bagus, elegan dan berkelas. Jelas bukan sandal murahan seharga sepuluh atau dua puluh ribu.

Tapi kalian jangan su'udzon dulu ya Kawan-Kawan. Aku tentu tidak lantas memakainya. Tadinya aku memang berpikir sandalku 'mungkin tertukar' dengan sandal tak bertuan ini. Namun aku masih sangat ragu, mana mungkin pemiliknya tidak bisa membedakan sandal bagus dan kurang bagus (aku lebih suka menyebut sandalku 'kurang bagus'--meski kenyataannya memang tidak bagus). Selintas memang sandal kami hampir mirip, tapi jelas-jelas berbeda dilihat dari sudut mana saja.

Maka pemikiranku benar adanya. Aku akhirnya menjadi yakin sandalku memang hilang karena dicuri, bukan tertukar. Pasalnya, si tuan pemilik sandal yang kukira tak bertuan itu baru keluar dari masjid. Kemudian dengan santai dan menawan memakai sandal mahalnya. Lalu melangkah mantap setelah sempat mengucap salam dan tersenyum padaku yang masih berdiri terpaku. Nestapa. Galau menerima kenyataan kalau sandal coklat kesayanganku raib dicuri orang. Dan yang lebih melas lagi, membayangkan harus pulang di siang bolong yang panas dengan bertelanjang kaki.

Apa nilai yang bisa diambil Kawan? Coba engkau bayangkan, bila saat itu aku punya perangai buruk. Setelah tragedi kehilangan sandal itu, ternyata kulihat sandal yang mirip punyaku, bahkan lebih bagus, lebih mahal. Kesempatan baik bukan? Berpikir cepat, dengan alibi sandal tertukar sudah umum terjadi di masjid, maka dengan leluasa bisa kugondol sandal itu sebagai pengganti sandal slop coklat kesayanganku yang hilang. Tak terlalu jadi masalah bukan? Karena sandal tertukar mah sudah lazim adanya. Namun jika demikian, lantas apa bedanya aku dengan si pencuri sandal Kawan?

Melakukan kejahatan untuk membalas kejahatan. Berbuat buruk untuk membalas keburukan. Mengambil sandal orang karena sandal kita dicuri. Membalas menggunjing dan menjelek-jelekkan orang, karena kita telah digunjing dan dijelek-jelekkan. Membalas orang yang menghina kita dengan ikut-ikutan menghinanya, bahkan tak jarang hinaan dari kita justru jauh lebih pedas didengarnya.

Apa lagi kondisi lain yang hampir sama Kawan? Mungkin kita--terlebih aku--sering tanpa sadar (atau banyak sadarnya) mendzolimi orang yang telah mendzolimi kita. Bahkan karena nafsu, perlakuan kita mungkin tak setimpal dengan apa yang sudah kita terima. Berlebihan dalam kita membalasnya. Balasan dari kita jauh lebih menyakitkan bila dibandingkan dengan apa yang kita dapatkan. Lantas apa beda kita dengan mereka?

Apa bedanya kita dengan penggunjing bila kita membalas gunjingan orang. Apa bedanya kita dengan penjahat bila kita membalas kejahatan orang. Apa bedanya kita dengan pemfitnah bila kita membalas fitnahan orang. Apa bedanya kita dengan pencuri sandal bila kita juga malah mencuri sandal orang.

Tak ada bedanya, Kawan. Sungguh tak ada. Dalih apapun yang kita punya, membalas keburukan sama saja kita telah menstempel jidat kita sendiri dengan logo keburukan pula. Lalu apa solusinya? Ikhlaskan saja? berarti kalau ada penjahat kita biarkan saja? Para koruptor itu kita ikhlaskan saja mengambil uang kita?

Ah, kau ini Kawan selalu saja membuat pertanyaan yang sulit kujawab. Yang kumaksud disini adalah kedzoliman yang secara langsung berdampak buruk bagi kita. Misal kita dihina, digunjingkan,atau difitnah, maka akan lebih indah kalau kita bisa membuka hati untuk memaafkan. Tanpa perlu membalas menggunjing atau memfitnah mereka, karena kembali lagi, jika demikian yang kita lakukan, maka kita tak ada bedanya dengan mereka.

Soal koruptor itu, ah, sebenarnya aku malas membahasnya Kawan. Akan tetapi dengarlah ini, pengadilan dunia bisa jadi tidak adil, tapi kita mesti yakin bahwa suatu saat akan datang masanya Pengadilan Tinggi di Hari Akhir dimana Alloh langsung jadi Hakimnya. Jangan harap kita bisa lepas dari keburukan meski seberat biji sawi saja kecuali kita akan menerima balasnya. Dan jangan pula khawatir dengan kebaikan meski seberat atom saja kecuali kita juga akan menerima balasan nikmatnya (lihat Al Qur'an Surah Az Zalzalah). Bukankah Alloh Itu Hakim Yang Sebaik-Baiknya? Jadi tidak perlu kan repot-repot mencuri uang koruptor untuk membalasnya, atau malah berpikiran lebih sempit : karena orang lain bisa korupsi uang kita, maka akan kita balas dengan melakulan korupsi juga. Lho lantas bedanya apa kita dengan koruptor itu?

Aku yang jelas-jelas dungu soal-menyoal hukum dan peradilan, ingin berpendapat menurutku biarlah hukum di Indonesia berjalan demikian adanya, sambil terus dikawal prosesnya apakah telah sesuai dengan peraturan yang ada. Sambil menyiapkan langkah memberantas dan mencegah mewabahnya korupsi dengan metode yang lebih konkret. Dan tahukah engkau caranya? Bagiku, langkah paling tepat menekan korupsi di Indonesia adalah dengan memastikan masing-masing dari diri kita tidak melakukan tindakan korupsi (korupsi saat kerja, korupsi uang, korupsi waktu, dsb).

Kembali pada ikhlas tadi, Kawan. Sulit bukan, menahan panasnya telinga mendengar hinaan orang. Menahan remuknya hati difitnah orang. Menahan kalut karena digunjing orang. Dan aku (meski sangat sangat sepele) menahan galau karena sandal slop coklat kesayanganku dicuri orang. Sulit bagi kita menerima, dan lebih sulit lagi menahan diri untuk tidak membalasnya. Orang harus tahu yang kita rasakan, pedihnya difitnah, sakit hatinya dihina dan digunjing dengan berita yang macam-macam.

Kau boleh membalasnya Kawan. Tentu boleh. Tapi balasan dengan hati, bukan dengan nafsu. Balasan dengan lisan yang terus beristighfar mengoreksi kekurangan diri kalau-kalau yang dituduhkan itu benar. Dan tak bosan mengingatkan mereka bahwa apa yang diperbuatnya salah. Balasan dengan tulus mendoakan agar mereka tersadarkan dan diampuni dosanya. Dan membiarkan Hak Alloh Sebagai Hakim Yang Seadil-Adilnya untuk memberi keputusan. Bukan justru dengan nafsu kita membalas keburukan itu. Karena sungguh Kawan, balasan yang kita berikan tak akan pernah setimpal. Kita dengan kesumat yang mendalam bisa jadi membalas tak sesuai porsinya. Berlebihan. Maka bukankah lebih indah bila kita bisa saling memaafkan?

Sulit bukan? Aku sendiri galau saat membuat tulisan ini. Bisa saja aku ini 'Jarkoni' (iso ujar ora iso nglakoni--singkatnya : omong doank). Masya Alloh. Aku berlindung kepada Alloh dari sifat seperti ini. Maka dengan segala kerendahan hatiku, aku mengajakmu belajar Kawan. Belajar tentang sabar dan ikhlas. Dengan senantiasa mengharap Ridho Alloh, semoga Dia bermurah hati memberi kita kekuatan untuk memahami.

Suatu pemahaman yang telah Dia ilhamkan kepada manusia paling mulia, Nabi Muhammad Shollallohu 'alaihi wa sallam. Pemahaman untuk sabar dan ikhlas. Ingatkah dengan sebuah riwayat yang menceritakan bahwa suatu ketika Rosul pernah dilempari batu dan dihina, kemudian Jibril datang bermaksud membela Rosul. Ditawarkan bantuan untuk menghancurkan masyarakat yang telah melempar batu dan menghinanya. Akan tetapi Kawan, apa yang manusia mulia ini lakukan? Dia justru melarang Jibril. Dengan sabar dan ikhlas Nabi Muhammad memahami bahwa masyarakat yang menghinanya itu belum tahu tentang kebenaran, kalaulah tahu tentu mereka tidak akan berbuat demikian padanya. Subhanalloh.

Sebuah pelajaran yang mulia Kawan. Percayalah kita memang tak akan pernah bisa semulia Rosul. Kita tak akan sanggup bersabar dan ikhlas menyetarai kesabaran dan keikhlasan Rosul. Tapi mari Kawan, kau dan aku terus berusaha mengejar cintanya, dengan selalu mengikuti ajaran dan meniru bagaimana akhlaknya kepada sesama. Semoga atas izin Alloh kita disempatkan menatap wajah Rosul yang bercahaya dan kebagian mendapat syafaatnya.

Semoga Alloh memberi kekuatan bagi kita--terlebih aku yang hina ini-- untuk bisa melaksanakan semua perintah-Nya dan dengan Rohman dan Rohim-Nya senantiasa melingkupi kita bersama dalam kedamaian dan keikhlasan untuk saling memaafkan.

Semoga kita tidak seperti pencuri sandal dan orang yang dicuri sandalnya.


Kamar Kost Tercinta, 16 Feb 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar