Jumat, 17 Februari 2012

Merindu Pilu Bersamamu, Saudara Islamku

Langit memerah
Semburat senja
Desir angin menghempaskan debu
Berterbangan
Batu-batu jadi saksi bisu
Tanah kering ikut hidup
mendengar desingan peluru
kesana kemari
Dedaunan pohon tertiup kasar
Menghirup aroma amis
sesekali menatap pilu
pada anak-anak yang menangis,
sore itu

Di perbatasan mereka bertempat,
perbatasan yang dibuat-buat
oleh kaum terlaknat
untuk semakin menjerat
manusia-manusia yang semakin sekarat

Wajah-wajah pias
pucat berbalut debu
Memelas
Rengekan bayi mencari susu
Anak kecil meronta
perutnya minta diisi
Wanita-wanita bersimpuh pilu
bergolak dengan asap mengepul
menyiapkan saji
roti kering tanpa isi
cukup mengganjal perut
buat bertahan hidup lagi

Laki-laki kulit legam
menahan terik
membahu melawan penindasan
tanah mereka direnggut
hidup tenang mereka tercerabut
harga diri mereka tersulut

Kesulitan pangan di rumah sendiri
kelaparan di bumi
tak bisa hidup tenang di tanah sendiri
tersingkir ke pinggir,
terdesak,
hanya tinggal dalam wilayah
satu pijakan

Tuhan, aku rindu
sungguh-sungguh rindu
membahu melawan kejam
bersama para manusia itu

Andai mampu kuarungi dimensi
ruang dan waktu

Ah, sayangnya tak sedikitpun
pernah kutemui mereka

Tanah dan batu kering itu
sebatas imajinasiku
Desir angin panas
tak sekalipun pernah kurasa membelai kulitku
Bau amis tak pernah tercium
Tak pernah kurasa

Belum pernah teraba
Belum pernah dalam hatiku
langsung merasakan perih bersama mereka,
Ikut pedih,
dengan orang-orang itu

Tuhan, aku rindu kesana
jika kau ijinkan
kirimlah aku
bersama malaikat penolong-Mu
Meski jalanku tanah lapang bertabur beling
Merintang angin menebar sembilu,
menyayat tubuh
Walau desing peluru mengintaiku
Aku ingin kesana,
ikut menangis bersama mereka
Terpinggir
di atas tanah kelahirannya sendiri
Pilu

Semarang, 5 Jan 2009
(dalam asa syahid sebagai petugas medis disana, semoga)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar