Sabtu, 25 Februari 2012

Suporter Bandel

Bila kita sering dengar suporter rusuh di pertandingan sepak bola, itu sudah biasa. Merasa paling berkepentingan soal memberi dukungan pada tim kesayangan. Dan begitu tahu tim yang didukung tak bermain dengan memuaskan, berpikir wasit tak adil dalam mengambil putusan, merasa tim kebanggaannya dicurangi oleh lawan, atau kondisi apa saja yang membuat hasil akhir pertandingan berbuah kekalahan, maka suporter ini tak segan-segan ikut turun ke lapangan, membuat kericuhan. Hendak menunjukkan kekesalan bahwa setelah jerih payah dan antusias yang sudah mereka lakukan dalam memberi dukungan, mestinya semua itu diganjar dengan sebuah kemenangan. Tak jarang ada yang berbuat anarkis. Merusak fasilitas umum sampai tawuran antar suporter. Seperti kaum barbar saja. Tapi tentu tidak semua suporter demikian. Ada juga yang santun. Cinta damai. Sayangnya yang ini jarang, bahkan hampir tak pernah terekspose oleh media, sehingga masyarakat tahunya sepak bola itu ya cuma bobroknya saja. Mengenaskan.

Sementara kita tinggalkan dulu lapangan sepak bola. Aku ada cerita menarik soal suporter ini. Ada sebuah suporter yang tak pernah menyanyikan yel-yel pengobar semangat. Tak ada acara tiup terompet atau menabuh genderang. Tak ada teriak-teriak memberi dukungan. Dan suporter ini nyata adanya. Lapak mereka adalah lingkungan tempatku bekerja. Ya, rumah sakit. Lalu suporter macam apa yang sampai terjun ke rumah sakit segala? Dan perlu kau tahu, meski mereka 100 % anti anarkis, tapi hampir sama dengan suporter sepak bola tadi, mereka itu juga kelompok orang yang bandelnya minta ampun.

Datang pada jam-jam tertentu, rombongan orang-orang ini biasanya berduyun-duyun tiba di rumah sakit. Berkelompok 5-15 orang, bahkan bisa lebih. Ya, sebanyak itu. Mereka datang menumpang mobil pick up, menyewa satu-dua angkot, atau naik ke dalam bak truck kecil. Banjir suporter ini biasanya dimulai pada jam 17.00 - 20.00. Di atas jam itu jumlah mulai menyusut pasti. Karena setelah jam 20.00, petugas keamanan akan segera melakukan sidak, memastikan pasien harus bisa beristirahat dengan tenang.

Suporter itu adalah para pengunjung pasien. Orang-orang yang dengan tulus mempraktekkan sunnah nabi untuk menjenguk orang sakit. Dan kebanyakan mereka adalah tetangga pasien dari desa tempat tinggalnya. Datang dari berbagai pelosok menyempatkan diri untuk mengetahui kondisi kesehatan orang yang sudah dianggap saudara oleh mereka. Dan yang seperti ini seringnya terjadi di ruang perawatan kelas tiga, maka sering dilazimkan mengingat banyak diantara mereka -baik pasien, kelurga, maupun pengunjung- kebanyakan merupakan masyarakat dengan strata menengah ke bawah (dari segi ekonomi atau pendidikannya).

Tapi memang layaknya image dari kebanyakan suporter yang sudah ada, suporter pasien ini juga bandelnya bukan buatan. Padahal demi ketertiban dan ketenangan ruang rawat inap, pihak rumah sakit telah mengeluarkan peraturan baik tertulis maupun tidak seputar kunjungan pasien. Yang paling jelas dan terang adalah tulisan di depan pintu masuk ruangan : "PENGUNJUNG HARAP MASUK BERGANTIAN" atau "ANAK USIA DI BAWAH 12 TAHUN DILARANG MASUK". Aku rasa bagi orang yang bisa membaca, aturan ini sangat terang maksudnya. Tapi tetap saja mereka ngeyel, masuk ruang serentak bersama-sama, menggelar tikar seenaknya, sudah seperti di rumah sendiri. Ada juga yang nekat membawa anak kecil yang masih dalam gendongan masuk ruang. Ah, tak terhitung sudah berapa kali selalu kami ingatkan secara lisan. Sampai berbusa mulut ini. Tapi yang namanya bandel, setelah diingatkan maka dalam durasi satu jam ke depan biasanya akan menurut, tapi besoknya saat kunjungan berikutnya sudah lupa lagi bahkan kurang ajar membawa tenaga suporter tambahan. Memusingkan. Tak henti kami ingatkan, tak lelah pula mereka mengulangi.

Pernah suatu sore saat akan keliling ke pasien untuk memberikan terapi, kami terpaksa harus menunggu sejenak sebelum masuk ruang perawatan, karena di dalam sudah ada kumpulan orang sedang duduk khidmat, melingkar diatas tikar di sekitar tempat tidur pasien, dipimpin satu orang di tengah (kalau ditempat asalku dipanggil Pak Moden), mereka berdoa bersama untuk kesembuhan orang yang dijenguknya. Masak orang sedang berdoa harus diusir? Tak sampai 3 menit selesai, baru mereka kami persilakan keluar dan meminta membenahi semua perkakas yang ada agar lebih rapi.

Bagaimana dengan pasien yang lain? Ruang tempatku bertugas ini ada tujuh kamar, sekamar berisi 7 tempat tidur. Jadi bila satu pasien saja dijenguk 3 orang maka 21 orang pengunjung akan menyesaki ruangan. Komplain dari pasien lain sering pula kami dapatkan. Mulai dari kebisingan, gerah karena terlalu banyak manusia di dalam, tak bisa istirahat, sampai ada pasien yang kumat sesak nafasnya. Ah, tapi lagi-lagi, usai kami menegur hari ini, besoknya pasti terulang lagi. Tapi ada jam yang tak bisa diganggu gugat, yaitu diatas jam 8 malam, saat petugas keamanan keliling ruangan. Setiap kamar harus steril dari pengunjung kecuali penunggu pasien yang sudah punya kartu tunggu. Selain yang itu, wajib pulang, sudah malam, pasien butuh istirahat.

Hari-hari berikutnya sama. Hampir selalu seperti itu. Kesulitan kami mengatur lingkungan agar tertib dan kondusif. Pegal mulut ini selalu mengingatkan. Maka, sejauh tak ada pasien yang terganggu dengan aktivitas suporter bandel ini (meski lebih banyak yang sering terganggu), kami bisa 'sedikit saja' memaklumkan. Tidak mau banyak-banyak. Khawatir nanti tambah nekat.

Namun sesungguhnya dibalik sebelnya aku mengatasi mereka, sedikit ada rasa kagum juga. Mereka orang-orang yang selama ini kita anggap udik, pendidikan menengah ke bawah, ekonomi rendah, justru punya suatu nilai kearifan yang mungkin tak pernah dimiliki oleh orang yang mengaku modern di jaman sekarang. Suatu nilai kebersamaan. Memahami indahnya persaudaraan dan saling memberi perhatian. Mungkin tak ada yang pernah memaksa mereka untuk merepotkan diri, menggadaikan waktu istirahat setelah bekerja seharian, menjatuhkan sedikit gengsi (atau mungkin sudah tak ada gengsi sama sekali) dengan menaiki mobil pick up, berombongan, tersapu angin di jalan, seperti orang mau demonstrasi saja. Hanya untuk menjenguk tetangga atau saudara jauh mereka yang sakit.

Dan peristiwa doa bersama itu, sungguh membuat merinding. Mengingat hampir jarang sekali kita temui yang demikian. Doa merupakan obat paling manjur sebelum obat yang lainnya. Mereka sadar kalau mau kesembuhan ya harus minta dulu sama Yang Memberi Sakit. Mereka sangatlah mafhum. Dan dengan kerendahan hati, doa bersama itu sedikit banyak telah membuat kamar itu damai. Pasien lain yang satu kamar ikut-ikutan mengamini. Bukankah pemandangan yang luar biasa?

Mereka, suporter bandel itu, telah mengajari kita secara nyata tentang rasa peduli terhadap sesama. Menganggap satu yang lainnya sudah seperti keluarga dekat saja. Merekalah pendukung pasien yang sesungguhnya, meski kadang merepotkan buat pasien lainnya. Tapi kesadaran untuk saling memberi perhatian itu sungguh tak ada duanya. Mereka yang konon katanya datang dari pelosok desa, mesti jadi bahan pelajaran bagi penduduk kota yang mulai lupa soal tenggang rasa, terlalu sibuk urusan kerja, terperangkap dalam modernisasi dunia, tergerus dalam kehidupan yang mulai melupakan rasa persaudaraan.

Dan mereka, suporter bandel itu, meski membuatku jengkel di setiap kunjungannya, telah mengajarkanku untuk dapat lebih sabar, dan setidaknya membuat pihak rumah sakit sedikit berpikir keras, bagaimana membuat aturan berkunjung yang lebih tegas.


di-Baiti Jannati, 25 Feb 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar