Rabu, 29 Februari 2012

Mencari atau Menemukan?

Sensitif. Menurutku topik ini begitu sensitif. Aku selalu berpikir ulang untuk mulai menulis tentang topik yang satu ini. Sangat sensitif. Engkau yang membaca tulisan ini mungkin akan menganggap aku sedang curhat atau mengalami semacam fase kegalauan. Padahal tidak. Sama sekali tidak. Itulah kenapa aku sebut ini sensitif. Karena kali ini kita akan bicara soal CINTA. Sensitif bukan buatan.

Aku pernah bertanya dalam hati, bagaimanakah orang zaman dulu kalau sedang jatuh cinta? Apakah Kakek-Nenek kita pacaran? Seperti apa kisah cinta mereka? Pernah suatu kali aku tanyakan kepada Ibu-Bapak berapa lama mereka dulu saling mengenal hingga kemudian memutuskan untuk menikah. Maka seperti sudah ada konspirasi sebelumnya, beliau berdua malah kompak balik bertanya, tepatnya mungkin menantang : "Wis kepengen rabi opo piye Nang?" (Apa kamu sudah ingin nikah Nak?)

Sergapan itu langsung menohok ulu hati. Bukan itu maksud pertanyaanku. Mereka tertawa, menggodaku. Tapi akhirnya pertanyaanku dijawab. Dulu Ibu-Bapak dikenalkan oleh orang tua masing-masing (Kakek-Nenekku). Begitu dipertemukan pertama kali benih cinta langsung tumbuh, niatan baik ingin segera ditempuh, persiapan tak sampai tiga bulan, langsung menuju jenjang pernikahan. Simple sekali. Bapak tak perlu nembak dulu, apakah ibu mau jadi pacarnya atau tidak. Tak ada penjajakan berbulan-bulan. Tak ada main-main. Semua berjalan mudah. Komitmen untuk menikah.

Bapak, bagiku, adalah orang paling pendiam di dunia. Jarang memulai pembicaraan kecuali dianggap sangat penting. Tidak pandai humor. Bila sedang mengatakan lelucon selalu terdengar garing. Tapi beliau adalah orang paling jujur dan sederhana yang pernah aku temui. Sementara ibu, adalah orang yang periang, suka bicara, selalu ingin tahu, menyelidik, terlebih urusan anaknya. Tapi sifat menyelidik itu justru menunjukkan sisi keibuannya. Selalu memastikan apa yang sedang anaknya rasakan. Meyakinkan diri selalu ada, bila anaknya sedang butuh. Meski menurutku, anak yang bebal ini, kadang terlalu berlebihan. Dan sifat ingin tahu itu hanya dia terapkan pada keluarganya saja. Dia hanya ingin memberi yang terbaik bagi suami dan anaknya. Maka tak seperti ibu rumah tangga kebanyakan, baginya pantang ikut campur masalah orang lain yang bukan urusannya. Ibu tidak suka menggunjing atau menggosip urusan yang belum terang baginya. Tapi kalau urusan yang bersifat sosial seperti memberi bantuan pada orang lain, bagiku beliau seorang jawara. Ibu, orang yang cerewetnya luar biasa pada kami, adalah ibu terbaik di dunia.

Bapak yang pendiam dikombinasikan sifat ibu yang suka bicara, adalah perpaduan yang sungguh luar biasa. Sengaja ditakdirkan oleh Tuhan untuk hidup bersama. Telah ditetapkan di Lauh Mahfudz jauh-jauh hari sebelum mereka saling mengenal. Dan karena memang sudah seperti yang disuratkan, pada kali pertama berjumpa, langsung 'klik' begitu saja. Chemistry itu langsung ada, kecocokan itu langsung muncul, tak perlu pacaran dulu. Anugerah cinta dari Tuhan meresap perlahan ke hati keduanya, begitu indah. Setidaknya itulah yang terasa selama lebih dari dua puluh tahun hidup bersama mereka. Bapak bisa bersabar dengan Ibu, dan Ibu bisa patuh dengan Bapak. Kecocokan itu tak perlu dibangun berbulan-bulan, bertahun-tahun, atau berabad-abad. Karena cinta itu fitrah, dan Tuhan selalu memberi petunjuk kepada hati, agar bisa menemukan tempat terbaik yang akan dia singgahi.

Itu sebuah kisah singkat. Sengaja tak kutampilkan cerita seperti di novel-novel Islami. Bertahun-tahun bahagia, tanpa saling kenal sebelumnya. Dan bukti yang ini telah nyata adanya. Namun ada yang aku tak pernah mengerti, mengapa tampaknya sulit sekali menerapkannya di zaman sekarang ini. Menurutku telah terjadi semacam pergeseran nilai. Bahwa agar nanti rumah tangga harmonis, maka diperlukan suatu proses penjajakan, yang oleh sebagian orang disebut pacaran. Kalau cocok lanjutkan, kalau tidak mungkin lain kesempatan.

Padahal kalau boleh aku berpendapat, bukankah tiap jiwa telah ditakdirkan siapa jodohnya? Jadi kalau kita dekat dengan seseorang yang kita suka dan berharap bisa melanjutkan hubungan lebih serius, tapi ternyata pada kontrak jodoh yang dibuat oleh Tuhan tidak tercantum namanya, apa masih harus dipaksakan dia akan jadi jodoh kita? Permasalahannya kita tak pernah tahu siapa nama orang yang tertulis di suratan takdir itu. Sehingga sering kita maunya coba-coba. Dan yang membuat hidup jadi tidak tenang, salah satunya mungkin memikirkan kondisi terburuk bila jodoh kita bukanlah orang yang kita suka.

Mencari atau menemukan?

Rumit. Sampai disini masalahnya begitu rumit. Setiap orang diperintahkan untuk berusaha. Dan sama halnya bentuk rezeki lainnya, jodoh juga patut kita usahakan. Biarpun oleh Tuhan sebetulnya telah disediakan, tapi tetap tidak boleh berpangku tangan. 'Mencari jodoh' disini mengandung makna yang luas dan sebuah nilai yang suci, setidaknya itu menurutku. Maka usaha mencari itu bukanlah kita melakukan penjajakan yang serampangan. Berusaha mengenal pasangan dengan cara sembarangan. Tanpa adab. Tanpa tata krama. Islam sudah mengajarkan dengan begitu indah. Dan bagi kita yang masih ragu apakah dengan cara instan seperti itu pernikahan akan langgeng ke depannya, maka perlu menanamkan dalam hati lagi bahwa jodoh sudah diatur jauh sebelum kita melihat dunia. Tak tahu kapan masanya. Berapa lama waktunya.

Ada sebuah ungkapan menarik 'engkau mungkin tidak menikahi orang yang kau cintai, tapi cintailah orang yang engkau nikahi'. Cukup sederhana, tapi sulit penerapannya, apalagi yang belum pernah mencoba. Namun setidaknya tersampaikan sebuah maksud, bahwa tangan manusia tak ada kuasa apa-apa memilih pendamping hidupnya. Dan bila pendamping hidup itu telah tiba manusia juga tak ada kuasa untuk membantahnya. Maka jalan terbaik, cintai Tuhan melebihi segalanya agar Dia berkenan menganugerahkan cinta di hati kita untuk pasangan kita. Senantiasa memohon petunjuk pada-Nya, terlebih bagi yang merasa masih hidup sendiri dan sedang dirundung galau dalam hatinya.

Kita selalu ingat janji-Nya bahwa laki-laki yang baik hanya untuk perempuan yang baik, dan perempuan yang baik hanya untuk laki-laki yang baik. Maka bila mau mendapat yang baik-baik usaha terbaiknya adalah menjadikan diri pribadi yang baik. Banyak ibadah, banyak doa, banyak usaha, banyak doa lagi, selalu menyertakan Dia dalam tiap sendi kehidupan kita. Memohon kemudahan agar dapat memilih mana yang terbaik bagi kita.

Lantas bagaimana bila kita sudah berusaha menjadi baik ternyata dapat jodoh yang kurang baik? Itu artinya Tuhan sedang memberi kesempatan bagi kita agar jadi lebih baik lagi, sekaligus sebagai sebuah ladang amal karena kita dapat berusaha untuk membuat orang lain baik juga. Bukankah perkara ini jadi begitu indah? Ya, urusan seorang mukmin memang selalu indah. Jika mendapat nikmat mereka bersyukur, bila mendapat musibah mereka bersabar.

Dan muara dari itu semua adalah 'penemuan'. Layaknya rezeki terindah yang telah disediakan. Orang yang tepat, di waktu yang tepat, dan di tempat yang tepat. Sudah ditetapkan Tuhan dengan begitu hebatnya. Rusuk yang belum bertemu dengan pemilik sahnya, tidak akan tertukar dengan yang lainnya.

Yang terakhir, ingin kusampaikan sekali lagi, tulisanku ini hanya tulisan Kawan. Tak ada hubungannya dengan hati, baik bentuknya curhatan atau manifestasi dari kegalauan. Sekali lagi tidak. Sama sekali tidak. Ini hanya wujud penyampaian pemikiran. Gagasan. Dan karena masing-masing dari kita telah dianugerahi pemikiran luar biasa dalam memahami sesuatu melalui sudut pandang beraneka rupa, maka bolehlah engkau tidak sependapat. Sah-sah saja. Yang terpenting semoga ada manfaat yang tersampaikan. Dan bila ada yang kurang sesuai, aku mohon sebelum engkau campakkan, perbaikilah. Semoga Alloh memberi kita kekuatan untuk tetap istiqomah di jalan-Nya.


Klaten, tanggal cantik di tahun kabisat 29/2/2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar