Senin, 13 Februari 2012

Tentang Cinta, Tentang Ikhlas (sebuah kisah teladan)

Tahukah engkau siapa Salman Al Farisi? Paling tidak, mungkin pernah dengar? Ya, benar Kawan. Dia adalah salah satu sahabat nabi. Sahabat yang dengan kesungguhannya 'mencari' hidayah Alloh. Sahabat yang bertekad kuat untuk membebaskan dirinya dari perbudakan dengan menebus dirinya sendiri, agar bisa bertemu sosok Nabi Muhammad dan merasakan keindahan Islam. Sahabat yang dengan kecerdasan pikirnya mencetuskan sebuah ide briliant : membuat parit, sebagai strategi perang. Perang yang kemudian dikenal dengan Perang Khandaq, dimana pasukan Islam berhasil menang dengan gemilang.

Dan seperti yang mungkin sebagian darimu telah tahu Kawan, sahabat nabi yang satu ini ternyata juga punya kisah cinta yang luar biasa. Bisa jadi engkau pernah, bahkan mungkin telah sering membaca kisahnya berulang-ulang. Namun ijinkan aku mengulangnya kembali Kawan. Mengisahkan kembali untukmu.

Saat tiba keinginannya untuk menikah. Seorang wanita Anshor (penduduk asli Madinah) yang dikenalnya sebagai wanita mukminah lagi sholihah telah mengambil tempat di hatinya. Tentu saja bukan sebagai kekasih. Tetapi sebagai sebuah pilihan dan pilahan yang dirasa tepat. Pilihan menurut akal sehat. Dan pilahan menurut perasaan yang halus, juga ruh yang suci.

Namun, bagaimanapun juga, bagi dirinya dan muhajirin yang lain,Madinah tetap menjadi tempat yang masih asing. Madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorang pendatang sepertinya. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah yang membantu berbicara untuknya, dalam urusan khitbah. Maka disampaikanlah keinginan suci itu kepada sahabat Anshor yang dipersaudarakan dengannya, bernama Abu Darda’.

”Subhanalloh.. Wal hamdulillaah..”,alangkah senang Abu Darda’ mendengarnya. Mereka tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup, berkunjunglah kedua sahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita yang sholihah lagi bertaqwa.

”Saya adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Alloh telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rosululloh Shollalloohu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya", fasih Abu Darda’ bicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni.

”Adalah kehormatan bagi kami”,ucap tuan rumah, ”Menerima Anda berdua, sahabat Rosululloh yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang sahabat Rosululloh yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.”

Tuan rumah memberi isyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang puteri menanti dengan segala debar hati.

”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya.

”Tetapi karena Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridho Alloh saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abu Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”

Masya Alloh. Jujur Kawan, apa yang ada dalam pikiranmu jika kau menjadi Salman? Ah, ditolak saja tentu sudah sakit hati dan yang jelas malu bukan buatan. Sekarang ditambah kau harus menerima kenyataan bahwa gadis yang kau niatkan untuk meminangnya, malah lebih memilih sahabatmu sendiri. Tepat di hadapanmu. Tepat saat prosesi pinanganmu itu. Kita mungkin berpikir, kurang ajar betul, lantas menyesali keputusan kita minta tolong pada sahabat kita. Nestapa. Perih tak terkira. Sakit tak terperi.

Jelas sudah, keterusterangan ini sangat mengejutkan. Ironis. Tapi jangan pernah samakan keimanan kita dengan Salman, Kawan. Sungguh jangan. Tak tahu diri namanya.

Salman memahami betul makna sebuah keikhlasan. Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya.

Maka dengarlah ketika Salman angkat bicara.

”Allohu Akbar!” Seru Salman.

”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abu Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian.”

Subhanalloh. Cinta tak harus memiliki. Dan sejatinya kita memang tak pernah memiliki apapun dalam kehidupan ini Kawan. Salman mengajarkan kita untuk meraih kesadaran tinggi itu di tengah perasaan yang berkecamuk rumit; malu, kecewa, sedih, merasa salah memilih pengantar –untuk tidak mengatakan ’merasa dikhianati’-, merasa berada di tempat yang keliru, di negeri yang salah, dan seterusnya. Ini tak mudah. Dan kita yang sering merasa memiliki orang yang kita cintai, mari belajar pada Salman. Tentang sebuah kesadaran yang kadang harus kita munculkan dalam situasi yang tak mudah. Dan pada akhirnya semua hanya ada satu muaranya, Kawan. Ikhlas.


Sumber : Kisah-Kisah Teladan--dengan sedikit gubahan.

1 komentar: