Kamis, 23 Februari 2012

Man Jadda Wajada

Engkau yang pernah membaca, atau mungkin termasuk salah satu penggemar novel 'Negeri 5 Menara', tentu tak asing dengan mantra yang satu ini. Mantra yang jadi penggugah dan penyemangat jiwa bagi Alif dan kawan-kawannya. Mantra yang akhirnya membawa mereka menuju ke pencapaian cita-cita dalam hidupnya. Memahami bahwa mimpi haruslah diwujudkan, sebesar apapun bentuknya. Setinggi apapun harus berusaha diraih, seluas apapun harus coba untuk digapai. Bahwa mimpi ada untuk dihidupkan, bukan untuk dihidupi, apalagi sekedar hidup dalam mimpi. Bahwa usaha gigih, tak kenal menyerah, tak henti berjuang, adalah nilai-nilai yang mutlak diperlukan. Tuhan tak pernah lalai terhadap sekecil apapun usaha yang kita lakukan. Dia tak pernah lupa terhadap cucuran keringat yang kita tumpahkan. Dan keberhasilan adalah hadiah terindah bagi orang yang mau berlelah-lelah.

Tulisanku kali ini tidak akan membahas resensi novelnya atau soal sinopsis film layar lebarnya (yang kabarnya akan segera tayang). Engkau tentu sudah lebih faham jalan ceritanya. Aku hanya ingin mengajakmu kembali merenungi tentang keajaiban mantra ini. Sejauh manakah pepatah Arab ini berperan dalam hidup kita. Sudahkah kata-kata ini berkontribusi dalam mewujudkan cita-cita kita. Sudahkah kita menghayati dalam-dalam, dan menerapkannya secara nyata.

Aku sendiri baru mengenal kata mutiara ini saat SMA. Tapi benar-benar bisa menghayati setelah duduk di bangku kuliah, saat seorang teman memperkenalkanku dengan novel 'Negeri 5 Menara'. Usai membacanya, aku mulai merasakan spirit yang luar biasa. Dan kalau setelah membaca novel-novel lain spirit yang ditimbulkan perlahan juga mulai hilang selepas kita menutup halaman buku berbulan-bulan berikutnya, tapi tidak dengan novel yang satu ini. Nilai-nilai perjuangan itu seolah terngiang-ngiang terus dalam ingatan. Menyebabkan otak terus berimajinasi memikirkan cita-cita masa depan. Barangsiapa bersungguh-sungguh, dia akan mendapat. Begitu bunyinya.

Man jadda wajada, bukanlah sebuah ayat Al Qur'an, bukan pula sebuah Hadits. Hanya pepatah bahasa Arab biasa. Tapi akan sangat bermakna bagi orang yang mau memaknainya, meski kedalaman maknanya jelas tak akan sebanding dengan Ayat-Ayat Suci Al Qur'an dan Sunnah Rosul-Nya. Maka dengan tidak melepaskan diri dari nilai-nilai murni dalam Al Qur'an dan akhlak mulia yang diajarkan Baginda Rosul pada kita, tak ada salahnya bila mantra Man jadda wajada juga mewarnai kosakata pemantik api semangat dan jadi meriam yang siap melontarkan diri kita pada pengharapan terindah dalam hidup, atas izin-Nya.

Dalam hidupku, pepatah ini tak sekedar menjadi kata-kata penyemangat, tapi juga semacam cambukan dan tamparan sangat keras untukku berkaca diri. Keberhasilan tentu jadi harapan bagi semua orang, tapi yang namanya hidup, kegagalan pasti juga tak segan mampir menyertainya. Dan di saat gagal itu, kita, terlebih aku, tak jarang menyalahkan keadaan yang tak mendukung, menghujat waktu yang tak tepat, atau membenci orang lain yang kita anggap biang keroknya. Sakit rasanya gagal. Lebih pedih bila melihat orang lain berhasil sementara kita masih tertinggal. Namun sesungguhnya bila kau mau tahu Man jadda wajada ini bisa kita jadikan bahan introspeksi diri. Bukankah yang dingiang-ngiangkan untuk orang yang sukses adalah mereka yang mau bersungguh-sungguh? Lantas kalau mau menilik ke belakang atas kegagalan kita, sejauh mana kesungguhan kita dalam berusaha? Orang akhirnya mengeluh karena tidak berhasil. Lebih lama menekuri nasib yang seolah tidak bersahabat. Merasa dirinya paling apes sedunia. Tapi pernahkah mengevaluasi diri, memastikan, bahwa usaha yang kita lakukan dalam mencapai tujuan telah sungguh-sungguh adanya?

Pernahkah kita menyadari bahwa usaha kita lebih sering bersifat horisontal? Untuk lulus kita belajar dengan rajin. Agar diterima kerja kita menyiapkan diri semaksimal mungkin. Untuk mendapat keuntungan dalam usaha kita bekerja keras siang-malam. Agar menang dalam perlombaan kita berlatih sekuat tenaga. Agar sukses kita kerahkan semua kemampuan kita. Dan setelah usaha-usaha yang kita anggap keras tersebut, baru kita serahkan pada Yang Mahakuasa. Dengan doa dan kesadaran untuk dapat menerima apapun nanti hasilnya. Koreksi ini jika aku salah : kita sering menempatkan Alloh di garis akhir perjuangan kita. Seringnya kita sudah merasa cukup dengan berdoa sekenanya untuk mengawali suatu usaha, lalu baru merasa perlu berdoa dengan penuh kekhidmatan setelah kita bersusah payah. Bahkan tak jarang dalam berdoa kepada Tuhan, selalu kita tergesa-gesa, tak jelas maksudnya. Inilah yang kusebut usaha horisontal, tapi secara vertikal kita malah setengah-setengah. Kenapa tawakkal harus selalu diletakkan di akhirnya, bukan segera setelah kita akan mulai suatu usaha. Dan mengapa dalam 'bekerja sama' dengan-Nya kita juga tak sepenuh hati, cukup doa saja, tanpa mau memperbaiki amal ibadah selama ini. Aku juga sedang mengoreksi diriku sendiri.

Agar tulisanku ini tak melebar kemana-mana, karena substansi yang ingin kusampaikan adalah tentang mantra Man jadda wajada, maka aku ingin kita belajar memahami bersama bahwa kesungguhan usaha tidak selalu tentang kita. Kita wajib menyertakan Alloh di dalamnya. Aku teringat sebuah pengajian yang disampaikan oleh Ustadz Yusuf Mansur, temanya sangat menarik di dengar : Alloh dulu, Alloh lagi, Alloh terus. Ketika punya suatu hajat, mari kita mulai dengan tawakkal dulu bahwa semua milik Alloh dan akan kembali pada-Nya. Baru kemudian memulai usaha kita dengan tak lupa mengajak Alloh sebagai 'partner kerja'. Jadi setiap jerih payah yang kita lakukan selalu melibatkan Alloh juga. Caranya dengan kita memperbaiki amalan ibadah kita, sholat tepat waktu diiringi ibadah sunnahnya (qobliyah-ba'diyah, tahajud dan lainnya), lalu kita imbangi pula dengan ibadah puasa sunnah, dan tak lupa sedekah. Senantiasa bertobat atas kesalahan kita dan tak henti memohon ampun pada-Nya. Dan pamungkasnya baru kita letakkan tawakkal yang sesungguh-sungguhnya. Tawakkal yang bernilai sebenar-benarnya tawakkal, karena jerih payah kita, peluh keringat kita, selalu menyertakan Alloh Subhanahu wa ta'ala. Seimbang usaha horisontal dan vertikalnya. Sama-sama bersungguh-sungguh dalam menjalankan keduanya. Dan menurutku disinilah seharusnya kita
memaknai Man jadda wajada.

Lho beribadah kan harusnya ikhlas lillahi ta'ala? Jangan dicampuradukan dengan cita-cita atau keinginan kita lah? Kawan-kawanku yang baik, sadarkah bahwa doa juga merupakan ibadah, karena kita minta sama Dzat Yang Memang Pantas Dan Wajib Untuk Diminta. Bukankah kalau kita tidak minta Dia justru akan marah, kita dibilang sombong malah. Dan -maaf kalau agak kasar, mohon koreksi- orang yang tidak sholat, tidak mau puasa, atau bersedekah saja boleh minta sama Alloh, apa saja. Bagaimana kalau ibadah-ibadah tersebut malah kita sertakan, kita sempurnakan. Tentu akan jadi nilai tambah yang luar biasa. Kita bisa sukses dunia, dan bahagia di akhirat sana. Betul tidak?

Nah, kalau sudah demikian adanya, tapi tak membuahkan hasil juga bagaimana. Berarti mantra Man jadda wajada tak bisa terbukti kebenarannya? Semoga kita tetap berada di jalan-Nya. Selalu istiqomah dalam bertawakkal pada-Nya. Tetap khusnudzon, berbaik sangka. Bisa jadi Alloh sudah mempersiapkan yang terbaik bagi kita. Karena kembali lagi, Dia tak pernah lalai, tak pernah lupa. Setiap tetes peluh kita akan diganjar setimpal. Dia akan mengganti setiap desah nafas kita yang tersengal-sengal. Setiap lelah dari tubuh kita, sungguh akan dapat imbalannya. Maka harusnya bagi orang yang beriman tak ada kata menyerah. Tetap meyakinkan diri bahwa bila kita berusaha keras dengan selalu ingat dan melibatkan-Nya, maka akan tercapai keinginan kita. Entah kontan di dunia, atau sebagai investasi terindah di surga sana.

Tentu aku juga masih perlu untuk terus, terus, dan terus belajar. Dan semoga tulisan sederhanaku ini bisa menjadi pendorong bagiku juga engkau semua, untuk tak berhenti berusaha menggapai cita-cita. Usaha dengan sesungguh-sungguhnya, agar kita mendapat apa yang kita pinta. Man jadda wajada.


Kamar Kost Tempatku Berfikir, 23 Feb 2012

2 komentar:

  1. Balasan
    1. hehe,, masih kalah sama anta akhii, ane perlu banyak belajar lagi... :-)

      Hapus