Senin, 06 Februari 2012

Mari Bertafakkur tentang Banjir

Pernahkah kau menerabas jalanan banjir dengan motor Kawan? Pernahkah motormu 'mlepek', mogok, dan memaksamu menuntunnya, mengarungi banjir yang tingginya hampir sepinggang? Atau pernahkah kau kepayahan karena motormu itu termasuk motor butut keluaran lama, yang butuh tenaga ekstra dan cukup menguras waktu untuk menstarter dengan menggenjot pedal, bila harus kembali menghidupkan mesinnya?
Ah, kebanyakan darimu pasti akan bilang 'pernah', bahkan mungkin kalian lebih parah lagi. Dan aku juga pernah, Kawan.
Hampir selalu tiap musim penghujan tiba, jalan utama yang aku lalui ini digenangi banjir. Jalur utama menuju ibukota provinsi. Dan seperti yang kalian juga pernah rasakan, tentu sangat merepotkan bukan? Aku sendiri tidak habis pikir, bagaimana nasib orang-orang, mulai dari pekerja sampai anak-anak sekolah, yang tiap hari melalui jalan itu. Bagaimana bila hujan deras terus mengguyur, dan banjirnya tidak surut dalam satu dua hari saja. Tentunya setiap hari mereka harus berjibaku, ibaratnya menerjang lautan, agar sampai ke tujuannya. Untungnya masih ada jalur alternatif lain yang bisa digunakan, namun harus menempuh waktu lebih lama, dan --meski tidak separah di jalur utama-- jalur alternatif ini sering dilanda banjir juga.
Hampir tiap tahun, Kawan. Tiap tiba musim penghujan.
Banjir selalu menjadi problem di kota ini. Bahkan yang terakhir kudengar ada salah satu rumah sakit yang juga ikut tergenang, menyebabkan semua petugas rumah sakit kewalahan mengevakuasi pasien dan barang-barang penting--mulai peralatan medis hingga catatan-catatan yang dianggap perlu untuk diselamatkan. Sudahkah kau bisa membayangkan kondisinya Kawan?
Jika belum akan aku beri ilustrasi lagi. Ada saudaraku yang tinggal di kota ini, di sebuah daerah pinggiran, di wilayah yang menjadi langganan banjir. Tak dapat dibilang lagi bagaimana bila banjir datang. Pemukiman tempat tinggal itu sudah tak karuan lagi bentuknya. Ada keluarga yang membuat sendiri rumah daruratnya jauh-jauh hari sebelum banjir datang (karena sudah yakin benar, kalau musim penghujan datang, artinya banjir juga akan ikut-ikutan). Dan bila kau ingin tahu Kawan, rumah darurat itu adalah bale-bale tinggi yang dibangun dari bambu, macam posko keamanan saja, bedanya perabot di dalamnya lebih lengkap, mulai dari kasur sampai perkakas dapur. Keluarga yang ekonominya lebih beruntung biasanya telah membangun rumahnya menjadi dua lantai, dan bila banjir datang lantai atas menjadi rumah darurat. Ada juga keluarga yang tanggung-tanggung. Mereka hanya meninggikan lantai rumahnya, tapi tidak dibarengi dengan meninggikan bangunan rumah (dinding dan atap rumah tidak ikut ditinggikan). Alhasil, rumah itu jadi seperti rumah liliput, karena bila kau masuk ke dalamnya dan mengangkat sedikit saja tanganmu, kau sudah bisa menyentuh langit-langit rumahnya. Sebuah bangunan dengan arsitektur paling mengenaskan dan bikin miris untuk dilihat. Sementara penduduk lain yang sudah kehabisan akal bagaimana mengatasi banjir, lebih memilih mengungsi ke rumah kerabat yang tidak banjir, dan baru kembali setelah yakin banjir benar-benar telah surut.
Masalah tidak berhenti sampai disitu Kawan, karena masih ada masalah lain yang perlu diperhatikan, khususnya masalah kesehatan. Biasanya penyakit paling ringan yang diderita masyarakatnya adalah diare dan penyakit kulit, seperti gatal-gatal dan sejenisnya.

Hampir selalu begitu Kawan. Tiap datang musim penghujan.
Akan tetapi Kawan, tahukah engkau. Dibalik semua kesulitan yang kita rasakan--melintasi lautan banjir itu-- atau bagaimana penduduk daerah langganan banjir menjalani hari-harinya. Ternyata tidak semua orang merasakan dampak negatifnya. Kemarin contohnya, saat aku melintasi jalanan banjir itu, terlihat anak-anak yang begitu riang bermain air. Di jalanan Kawan, ya di jalanan yang banjir itu. Riang sekali mereka berenang, sudah seperti di rumah sendiri, tanpa peduli kendaran yang melintas di samping mereka. Kendaraan-kendaraan besar semacam truck atau bis kota yang berbaris berjalan pelan menyusuri banjir tidak sedikitpun menggemingkan keriangan mereka. Bahkan--bagi mereka-- daya tarik utama dari kolam renang khayalan itu justru ketika kendaraan melintas, karena saat itulah riak air yang ditimbulkan akan membentuk gelombang besar, seperti deburan ombak dalam imajinasi mereka. Takutkah mereka? Tidak Kawan, justru mereka semakin semangat melompat-lompat. Kegirangan.
Ada lagi yang membuat banjir ini sebagai peluang usaha. Masih anak-anak dan sebagian remaja yang ada di sana. Mereka memanfaatkan momen ini sebagai usaha jasa untuk mendorong kendaraan-kendaraan yang mogok di tengah jalan. Upah seribu, dua ribu, hingga lima ribu perak sudah lebih dari cukup bagi mereka. Tak peduli lagi lelah bahkan resiko sakit yang siap menyerang mereka. Mereka sudah kebal, sudah terbiasa. Aku belajar sesuatu bahwa banjir ini membawa berkah juga buat sebagian yang lainnya.
Dan kisah penduduk daerah langganan banjir itu Kawan. Kau pikir mereka selalu dirundung sedih sepanjang tahun terlebih saat musim penghujan tiba? Rupanya tidak. Mereka bisa dibilang sudah terbiasa dengan banjir ini. Menjalani hari tanpa harus banyak mengeluh. Cukup berusaha bagaimana caranya bisa bertahan saat banjir datang. Dan segera berbenah, membersihkan lingkungan bila banjir telah surut. Begitu terus, setiap tahun, tiap musim penghujan tiba.
Kalian yang membaca tulisanku ini mungkin berpikir lantas langkah konkret apa yang bisa kita lakukan? Ah, kalau kau bertanya padaku, lantas aku harus bertanya pada siapa Kawan? Bukan, sama sekali bukan masalah penanganan banjir substansi yang ingin kusampaikan. Akan tetapi bagaimana kita menyikapi banjir itu sendiri bukan sebagai suatu bencana, setidaknya seperti anak-anak di jalan itu atau penduduk di daerah langganan banjir. Mencoba bersyukur dan melakukan sebaik mungkin untuk bertahan tanpa perlu menyalahkan siapapun. Karena mau menyalahkan siapa? Kau mau menyalahkan dan mencaci hujan yang tidak bersahabat? Jangan sembarangan Kawan. Hujan itu mutlak Hak Alloh. Dia yang punya putusan mau menurunkan hujan dimanapun dan kapanpun, saat kau sedang apa dan dalam keadaan bagaimanapun. Mencerca hujan sama saja kau menyepelekan berkah yang Tuhan berikan. Bukankah hujan juga merupakan rezeki? Lantas berani-beraninya kita mencerca rezeki yang Alloh turunkan, siapa kita?
Atau kau mau mencela pemerintah kota? Ah, mengapa kita tidak senang berkhusnudzon Kawan. Bapak Ibu pejabat itu tentu sudah berpikir macam-macam cara untuk mengatasi banjir. Mengatur drainase di kota besar tentu tidak semudah membalik telapak tangan kan. Ah, demonstrasi tentu memang lebih mudah dibanding memikirkan solusi sesungguhnya Kawan. Lantas bagaimana langkah konkretnya? Kau bertanya padaku, lantas aku harus bertanya pada siapa Kawan?
Aku lebih senang menyebut ini siklus alam. Sebuah indikasi logis mengingat umur bumi yang semakin menua. Ya, Tuhan sedang mengingatkan kita bahwa dunia semakin tua. Alam sudah mulai tidak bersahabat dengan kita. Lalu apakah kita akan berpangku tangan? Tentu tidak Kawan. Tentu masih banyak orang-orang pintar yang punya keinginan kuat mengatasi banjir ini, tapi bukan aku Kawan, sama sekali bukan. Aku hanya akan mengajak kalian mencoba berpikir dan merenung lagi tentang peringatan dari Tuhan. Mencoba mengajak kalian berpikir seperti anak di jalanan itu yang mengubah bencana sebagai sebuah kenikmatan bahkan sumber rezeki. Mengajak kalian seperti penduduk daerah langganan banjir itu yang mencoba bersyukur dan berusaha melakukan yang terbaik yang bisa dilakukan agar keluarga mereka bertahan saat banjir, tanpa harus banyak mengeluh. Sungguhkah kau berpikir seandainya mereka tidak tinggal di daerah itu, maka mereka tidak akan dilanda bencana banjir? Sungguhkah kau berpikir demikan?
Maka kau salah Kawan, kita salah. Tak ada jaminan di belahan bumi manapun kita tinggal, kita akan selamat dari peringatan Alloh. Tak ada jaminan kita selamat dari bencana meski tinggal dimanapun. Di daerah pesisir akan kita temui resiko banjir bahkan tsunami. Di lereng gunung seperti merapi, tak menutup kemungkinan kita diintai wedhus gembel. Atau di dataran tinggi, bahaya tanah longsor juga tidak kalah ngeri. Di mana lagi? Gempa bumi siap menghantui, lumpur panas siap menyembur tanpa perlu dikomando Tuhan dua kali.
Siapa yang bisa mencegah bala kalau Alloh sudah menetapkan datangnya bencana. Dan siapa pula yang bisa menghambat pertolongan Alloh, kalau Dia sudah berkeinginan memberi pertolongan. Tidak ada, sungguh tidak ada, Kawan.
Aku bukan mengajakmu berpikir bagaiamana mengatasi bencana. Tapi berpikir, bagaimana menyikapi peringatan dari Alloh ini. Ya, peringatan. Aku lebih senang menyebut ini peringatan, bukan adzab. Karena tentu masih banyak saudara kita yang rajin sholat berjama'ah, rajin tadarus, bersedekah, saling mengingatkan tentang yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar.
Peringatan, ya, peringatan. Alloh sedang mengingatkan kita. Dia hanya ingin kita kembali Kawan. Ya, kembali.

di-Baiti jannati-ku, 5 Feb 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar